Mohon tunggu...
Dedy Eka Priyanto Ph.D
Dedy Eka Priyanto Ph.D Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Bekerja sebagai konsultan di salah satu big 4 accounting firm dan saat ini tinggal di Tokyo. Senang berbagi pengalaman lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Isu Radikalisme di Jepang

23 Oktober 2019   18:10 Diperbarui: 23 Oktober 2019   19:50 2733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Camii Tokyo yang selalu ramai didatangi orang jepang pada akhir pekan (sumber : fp Tokyo Camii)

Kemarin (22/10), beberapa group yang saya ikuti di Jepang, mendadak ramai karena tulisan dari kontributor Jepang untuk media berita online Tribunnews. Entah ada angin apa, kontributor media tersebut mengaitkan dan memaksakan isu radikalisme dengan pelatihan jurnalistik di paragraf paling awal. Berikut ini isi beritanya:

Pelatihan jurnalistik yang digagas wartawan senior Indonesia di Jepang sempat memunculkan informasi kekhawatiran dari beberapa peserta mengenai radikalisme di Jepang yang semakin mengental saat ini.

"Saya sendiri muslim pak, tapi kini sangat hati-hati memilih masjid kalau bepergian. Kecuali Masjid Nusantara di Akihabara yang saya anggap masih boleh karena banyak sumbangan dari kalangan Nahdhatul Ulama untuk pembangunan masjid tersebut," kata seorang peserta kepada Antonius, wartawan senior Indonesia yang memberikan pelatihan jurnalistik, Sabtu (19/10/2019).

Radikalisme di Jepang bahkan sampai membuatnya takut bepergian ke beberapa masjid di Tokyo karena pembicaraan yang muncul tidak sedikit yang berbau radikalisme terutama pada saat kampanye pemilu beberapa bulan yang lalu.

Paragraf yang terkait dengan isu radikalisme hanya tiga paragraf di atas, sedangkan sisanya (20 paragraf) sama sekali tidak terkait dan tidak ada korelasi dengan radikalisme.

Namun isu radikalisme dijadikan judul pada berita tersebut, "Peserta Pelatihan Jurnalistik Merasa Prihatin terhadap Radikalisme di Jepang".

Bukan pertama kali koresponden media online ini mengaitkan dan memaksakan isu radikalisme dengan berita yang tidak terkait. Bahkan sempat ditegur oleh pihak KBRI karena memasang foto salah satu pejabat KBRI yang tidak ada kaitannya dengan berita yang ditayangkan.

Awal mula isu radikalisme
Isu radikalisme di Jepang yang marak belakangan ini bukan berasal dari orang Jepang sendiri, namun oleh orang Indonesia dan tidak terlepas dari isu politik di tanah air, khususnya pemilu yang lalu.

Hal ini mungkin berawal dari isu penolakan oleh buzzer salah satu pendukung capres tertentu terhadap Ustad Abdul Somad (UAS) yang direncanakan akan mengisi kajian bulan ramadhan tahun 2018. UAS pada saat itu belum menyatakan dukungan, namun dianggap kuat mendukung salah satu pasangan yang bertarung di pilpres.

Pemerintah Jepang sendiri tidak menganggap UAS sebagai pembawa paham radikal atau bermasalah, dibuktikan dengan turunnya visa beliau ke Jepang. Namun, pihak  UAS sendiri yang kemudian membatalkan keberangkatannya dengan berbagai pertimbangan.

Isu radikalisme kembali muncul ketika di suatu pengajian yang diselenggarakan organisasi profesi di fasilitas milik KBRI, di mana beberapa panitia mengibarkan bendera tauhid setelah acara pengajian terikut suasana reuni 212 di tanah air tahun lalu.

Oleh sebagian orang, bendera ini dianggap menyerupai bendera milik HTI yang dilarang oleh Pemerintah Indonesia.

Peristiwa ini kemudian digoreng menjadi sebuah berita tentang radikalisme yang menyebar luas di kalangan WNI di Jepang oleh kontributor yang sama dan para buzzer.

Padahal pengajiannya sendiri lebih banyak berisi tentang keluarga dan cinta, sama sekali tidak menyinggung isu politik atau menyebarkan kebencian, apalagi radikalisme.

Isu radikalisme tambah marak lagi ketika pilpres yang lalu. Di satu pihak begitu semangat membawa bendera tauhid di beberapa kampanye di Jepang, sedangkan pihak lain memanfaatkan isu bendera tauhid ini sebagai pembenaran klaim mereka bahwa pihak kubu sebelah telah terpapar radikalisme.

Padahal, hingga pilpres berakhir, baik warga Jepang dan Polisi Jepang, tidak terlalu mempermasalahkan atau menangkap pihak yang membawa bendera tersebut.

Kontroversi bendera tauhid dan pilihan politik ustad yang diundang ke Jepang, mungkin menjadi penyebabnya utama munculnya isu radikalisme di Jepang oleh kelompok tertentu demi kepentingan jangka pendek mereka.

Pesan kedamaian
Siapapun sepakat bahwa radikalisme harus diberantas dan tidak dibenarkan oleh agama apapun.

Semenjak aksi terror 11 September 2001 di USA dan perang di Timur Tengah, image tentang islam memang tidak bagus di Jepang. Sehingga umat islam di Jepang, termasuk WNI berupaya untuk menyebarkan islam yang ramah dan damai.

Sudah tahu Masjid Camii Tokyo atau orang Indonesia lebih akrab dengan sebutan Masjid Syahrini? Masjid yang dikelola oleh Pemerintah Turki ini merupakan masjid yang paling banyak dikunjungi oleh warga Jepang yang non-muslim.

Tiap pekan, lebih dari ratusan orang Jepang non-muslim dan turis, termasuk turis asal Indonesia, yang mengunjungi masjid ini sekadar untuk melihat keindahan masjid, atau ikut menyimak penjelasan tentang islam yang dibawakan oleh orang Jepang muslim.

Banyak acara kebudayaan yang diadakan disana seperti halal bazar yang melibatkan negara muslim lain, ikebana, seni arsitektur islam, dan masih banyak lainnya. Setidaknya setiap pekan ada 2 orang Jepang yang masuk islam.

Suasana kajian ahad subuh di MIT (dok. Pribadi)
Suasana kajian ahad subuh di MIT (dok. Pribadi)
Selain Masjid Camii, ada juga Masjid Indonesia Tokyo (MIT). Masjid yang diresmikan oleh Bapak Arifin Tasrif (Dubes RI) tahun 2017, menjadi salah satu pusat kegiatan islami bagi WNI.

Setiap ahad, ada subuh bersama disertai dengan kajian yang menghadirkan pembicara dari beberapa latar organisasi islam dan profesi. Sebut saja, Ust. Adi Hidayat, Ust. Salim A Fillah, TGB, KH Nasaruddin Umar, Dahlan Iskan hingga Achmad Zaky (CEO Bukalapak) pernah mengisi di MIT.

Ketika bulan Ramadhan, MIT juga penuh dengan kegiatan mulai dari buka bersama, pesantren kilat hingga Tabligh Akbar dengan mendatangkan ustad dari tanah air.

Pernah juga mengadakan Islamic Cultural Festival di mana warga Jepang diajak melihat dalam masjid dan mengenalkan budaya Indonesia dan Islam. Acara-acara tersebut sangat jauh dari radikalisme. Bila tidak percaya, silahkan untuk berkunjung ke MIT.

Masih banyak masjid dan islamic center lain di Jepang yang menjadi pusat penyebaran islam dan aktif menyebarkan pesan perdamaian ke masyarakat Jepang.

Selain itu, ketika terjadi bencana di Jepang, warga muslim dari berbagai negara dan organisasi menjadi volunteer dan ikut melakukan penggalangan donasi. Seperti ketika bencana gempa tsunami besar 2011 dan bencana badai hagibis tahun ini.

Jadi seandainya ada yang mengklaim bahwa paham radikal mengental di Jepang dan hanya satu masjid saja yang aman, mungkin perlu piknik ke berbagai masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun