Mohon tunggu...
Dedi Saputra M. I.Kom
Dedi Saputra M. I.Kom Mohon Tunggu... Dosen Komunikasi Politik- Jambi

Perubahan memang tidak terjadi secara instan, namun perubahan harus dimulai.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Narasi Palsu Soal Kaum Muda: Representasi Politik atau Komodifikasi Elektoral

29 Juli 2025   20:17 Diperbarui: 29 Juli 2025   20:17 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah hiruk-pikuk kontestasi politik menjelang Pilkada serentak 2024 yang lalu dan bayang-bayang Pilpres 2029 mendatang, satu kelompok yang tak pernah absen dari sorotan kampanye adalah kaum muda. Mereka disebut sebagai tulang punggung bangsa, agen perubahan, bahkan penyelamat demokrasi. Namun, di balik pujian yang membuncah, ada kenyataan pahit yang tak banyak dibicarakan kaum muda hanya dikutip, bukan diikutkan. Mereka lebih sering direpresentasikan secara kosmetik, bukan diberdayakan secara struktural.

Anak muda, terutama generasi Z dan milenial, kini menjadi mayoritas pemilih di Indonesia. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa sekitar 56% pemilih pada Pemilu 2024 berasal dari kelompok usia ini. Fakta demografis ini tentu menjadikan mereka segmen politik yang sangat potensial. Namun justru karena itu pula, mereka rentan komodifikasi. Dalam bahasa yang lebih lugas, kaum muda dijadikan objek pemasaran politik, bukan subjek perubahan politik.

Jika kita cermati lanskap komunikasi politik hari ini, partai-partai politik, tokoh nasional, dan kandidat lokal berlomba-lomba merangkul citra anak muda. Mereka memakai istilah gaul, mengenakan hoodie alih-alih jas formal, bahkan menari di TikTok demi menarik simpati. Namun, apakah itu bentuk keterlibatan substantif? Ataukah hanya strategi branding yang menyesuaikan selera algoritma?

Di sinilah letak paradoksnya. Sementara narasi-narasi politik menyebut anak muda sebagai motor perubahan, dalam praktiknya, partisipasi mereka kerap bersifat semu. Mereka diminta hadir dalam kerumunan kampanye, tapi jarang diajak menyusun visi pembangunan. Mereka dilibatkan sebagai tim kreatif media sosial, tapi tidak disiapkan untuk duduk dalam ruang pengambilan keputusan. Bahkan ketika tokoh-tokoh muda didorong maju sebagai caleg atau kepala daerah, banyak dari mereka hanya diposisikan sebagai vote-getter alat untuk meraup suara tanpa kerangka pemberdayaan politik yang berkelanjutan.

Kita juga harus jujur mengakui bahwa komunikasi politik saat ini semakin dangkal. Platform digital yang semula diharapkan menjadi ruang partisipasi justru dimanfaatkan sebagai arena pertarungan citra. Dalam ekosistem media sosial yang serba cepat, kampanye politik pun berubah menjadi konten viral, slogan singkat, dan potongan video yang mudah dicerna tapi miskin makna. Akibatnya, politik kehilangan kedalaman naratif dan hanya menyentuh lapisan luar identitas pemilih.

Dalam situasi seperti ini, representasi anak muda tidak hanya menjadi semu, tapi juga manipulatif. Mereka ditampilkan dalam kampanye seolah-olah dilibatkan, padahal pada kenyataannya mereka sedang "dijual" secara simbolik. Representasi menjadi alat kosmetik politik, bukan sebagai hasil dari proses keterlibatan yang deliberatif. Hal ini sesuai dengan kritik teori komunikasi kritis di mana ruang publik dimanipulasi oleh kekuatan simbolik untuk melanggengkan dominasi politik elit.

Persoalannya menjadi lebih serius ketika narasi politik anak muda tidak disertai agenda kebijakan yang menyentuh persoalan mereka secara nyata. Isu-isu seperti pengangguran, kualitas pendidikan, akses ke perumahan terjangkau, hingga krisis iklim yang akan memengaruhi masa depan generasi ini, justru tenggelam di balik gimik dan jargon. Apa gunanya menyebut kaum muda sebagai aset bangsa jika arah pembangunan tidak memberikan jaminan terhadap masa depan mereka?

Sebagian pihak mungkin berpendapat bahwa keterlibatan anak muda masih minim karena kurangnya minat atau karena sikap apatis yang mereka tunjukkan terhadap dunia politik. Tapi benarkah ini murni kesalahan mereka? Survei CSIS tahun 2022 menyebutkan bahwa minat generasi muda untuk terlibat dalam politik formal sangat rendah, namun tingginya justru di sektor sosial seperti komunitas, gerakan lingkungan, dan kewirausahaan sosial. Ini menunjukkan bahwa anak muda sesungguhnya tidak apatis, mereka hanya alergi terhadap politik yang transaksional, koruptif, dan penuh sandiwara.

Ini menjadi tantangan bagi aktor politik hari ini. Apakah mereka benar-benar siap membuka ruang bagi generasi muda, atau hanya ingin menggaet suara mereka untuk kemudian dilupakan setelah pemilu usai? Ruang komunikasi politik yang ideal seharusnya membuka kanal partisipasi yang sejajar dan bermakna. Anak muda tidak cukup diberi ruang tampil, mereka harus diberi peran. Mereka tidak cukup diberi panggung, mereka butuh kuasa untuk turut menentukan arah kebijakan.

Karena itu, perlu ada perubahan paradigma dalam melihat kaum muda dalam politik. Pertama, partai politik harus melampaui pendekatan simbolik dan memulai transformasi internal untuk melibatkan anak muda dalam proses pengambilan keputusan, mulai dari tingkat ranting hingga DPP. Kedua, media massa dan media sosial harus memperkuat fungsi edukasi politik dan memperluas narasi-narasi kritis yang mendorong kesadaran kolektif anak muda terhadap isu publik. Ketiga, lembaga pendidikan dan masyarakat sipil harus memperkuat literasi politik yang berorientasi pada partisipasi aktif, bukan sekadar pemahaman prosedural demokrasi.

Pada akhirnya, demokrasi yang sehat tidak dibangun dari suara mayoritas semata, tetapi dari kualitas partisipasi. Jika anak muda terus direduksi menjadi komoditas elektoral, maka kita sedang membangun demokrasi tanpa masa depan. Namun bila mereka diberdayakan secara utuh, maka generasi ini tak hanya akan menjadi pemilih, melainkan pemimpin yang membawa Indonesia ke arah yang lebih beradab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun