Yang lebih memprihatinkan, tindakan ini datang dari jantung kekuasaan: Istana. Ini bukan sekadar urusan administrasi media atau protokoler, melainkan cerminan dari bagaimana kekuasaan melihat dan memperlakukan kebebasan pers.
Mengapa Ini Berbahaya?
Preseden seperti ini berbahaya karena mengirimkan pesan yang keliru kepada publik dan komunitas pers: bahwa bertanya terlalu keras bisa berujung pada sanksi. Bahwa menjadi jurnalis kritis berarti mempertaruhkan akses. Ini bukan hanya menghambat kerja jurnalistik, tapi juga membungkam publik secara lebih luas.
Ketika jurnalis takut bertanya, masyarakat kehilangan haknya untuk tahu. Dan ketika media bungkam, demokrasi pelan-pelan bisa lumpuh bahkan mati.
Jurnalis Bukan Corong Pemerintah
Jurnalis bukan humas pemerintah. Mereka tidak dibayar untuk menyampaikan apa yang nyaman saja untuk didengar. Justru tugas jurnalis adalah menggali, mengkritisi, dan bila perlu menggugah nurani kekuasaan agar tetap berada dalam koridor konstitusi.
Apa yang dialami Diana tentu membuat dunia pers frustrasi yang besar terhadap situasi ini. Jika akses ke Istana bisa dicabut hanya karena satu pertanyaan yang dianggap "menyimpang" dari skrip resmi, maka kita patut bertanya: apakah negara masih sanggup mendengar suara berbeda?
Kita patut mengapresiasi sikap berbagai elemen pers seperti Dewan Pers, PWI, AJI, IJTI dan lainnya yang dengan tegas menyatakan keberatan atas tindakan istana ini. Namun, yang harus ditekankan pula adalah tekanan publik yang luas sangat diperlukan agar praktik seperti ini tidak berulang. Saya percaya, para jurnalis sejati tidak akan diam, karena hari ini yang dibungkam adalah satu suara, tapi esok bisa giliran kita yang dibungkam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI