Filsafat Islam merupakan warisan intelektual yang tidak hanya menjadi tonggak peradaban, tetapi juga medan dialektika antara akal dan intuisi, antara rasionalisme dan spiritualitas.
Empat aliran besar filsafat antara lain, Paripatetik, Isyraqiyyah (Iluminasi), Irfani (Tasawuf), dan Hikmah Muta'aliyah, menunjukkan kekayaan dan keragaman pendekatan dalam memahami hakikat wujud, pengetahuan, dan realitas.
Aliran Paripatetik, yang dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plato, menekankan pendekatan rasional yang ketat. Tokoh-tokohnya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd berusaha mengharmoniskan akal dengan ajaran Islam.
Mereka menggunakan logika sebagai alat utama untuk memahami eksistensi dan metafisika. Namun, dalam konteks spiritualitas Islam yang mendalam, aliran ini sering dianggap terlalu kering, karena tidak memberi ruang cukup bagi pengalaman batin atau intuisi.
Sebaliknya, aliran Iluminasionis atau Isyraqiyyah yang dipelopori oleh Suhrawardi menawarkan pendekatan yang berlawanan: bukan akal semata, tetapi juga hati sebagai sumber pengetahuan.
Filsafat ini membuka pintu bagi pengetahuan intuitif melalui pengalaman spiritual, mengajarkan bahwa kebenaran dapat "dilihat" dalam cahaya batin.
Dalam era rasionalisme ekstrem saat ini, pendekatan Suhrawardi terasa menyegarkan, karena mengingatkan bahwa tidak semua realitas dapat dicapai hanya lewat nalar formal.
Lebih jauh lagi, aliran Irfani menegaskan pentingnya pengalaman mistis secara langsung dalam pencapaian pengetahuan. Tokoh seperti Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi menempatkan cinta Ilahi, dzikir, dan intuisi spiritual sebagai jalan untuk mencapai makrifat.
Dalam dunia yang serba materialistik, pendekatan Irfani justru menjadi obat terhadap kekosongan eksistensial yang sering dialami manusia modern. Pengetahuan dalam tasawuf bukan sekadar mengetahui, tetapi menjadi satu dengan yang diketahui. Inilah keniscayaan eksistensial yang tidak ditawarkan oleh filsafat rasional.
Namun, jika ketiga aliran sebelumnya cenderung berdiri sendiri dengan metode yang berbeda, maka aliran Hikmah Muta'aliyah yang dirumuskan oleh Mulla Sadra berhasil mensintesiskan semuanya.Â
Dia menggabungkan rasionalitas Paripatetik, intuisi Iluminasionis, dan pengalaman mistik Irfani dalam satu kerangka filsafat transendental.
Mulla Sadra tidak hanya menjembatani perbedaan metodologis, tetapi juga menunjukkan bahwa akal dan hati bisa saling melengkapi dalam mencapai kebenaran. Konsepnya tentang wahdatul wujud (kesatuan eksistensi) menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang realitas yang bertingkat, bahwa Tuhan dan segala makhluk adalah satu dalam eksistensi, namun berbeda dalam intensitas dan gradasi.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa tidak ada satu jalan tunggal dalam filsafat Islam untuk mencapai kebenaran. Akal, intuisi, dan pengalaman spiritual semuanya memiliki tempat masing-masing. Justru kekayaan filsafat Islam terletak pada kemampuannya untuk mengakomodasi keragaman pendekatan ini.
Di tengah era yang cenderung membenturkan agama dan rasio, filsafat Islam hadir sebagai jembatan. Dia mengajarkan bahwa iman tidak harus bertentangan dengan akal, dan bahwa pengalaman spiritual tidak bertentangan dengan logika.
Filsafat Islam menawarkan alternatif peradaban yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga dalam, batiniah, dan manusiawi.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI