Membayar dengan Sumber Daya Alam
Banyak negara yang memilikidebt ratioterhadap GDP-nya tinggi. Misal tentangga kita Malaysia yangdebt ratio-nya 52,7% terhadap GDP-nya nya, Thailand 41,8% dan Brazil 81,2%. Prosentasenya memang lebih besar dibandingkan dengan Indonesia yang berada pada posisi 29,24%. Tapi apakah kita hanya punya cita-cita menjadi seperti negara itu? Bukankah kita harus memiliki cita-cita menjadi negara lebih maju mengingat sumber daya alam yang kita miliki lebih beraneka ragam dan lebih banyak?. Apakah mau semua sumber daya alam tersebut dikuras hanya untuk membayar utang?. Bukankah dalam UUD 1945 telah jelas bahwasanya semua kekayaan yang terkandung dalam bumi Indonesia harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran bangsanya.
Ada angin segar memang ketika akhirnya bangsa Indonesia akan menguasai kembali tambangFreeportdi Papua. Sebagai bentuk kedaulatan atas kekayaan alam. Sebagai bentuk konkrit tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan UUD 1945. Tapi apakah ini kangkah yang ekonomis atau sebaliknya? Mengambil alih tambangFreeport itu harus dengan cara dibeli, bukan diminta atau diambil seenaknya. Lihat berapa uang yang harus disiapkan negara dalam prosesbuyback atau divestasi ini.Â
Menurut menteri ESDM Iganatius Jonan, nilai pasarnya adalah Rp. 53,2 T dan ini menurut taksiran dan hitungan pihak kta sebagai pembeli. Tentu negosiasi akan terus berjalan untuk mendapat harga ideal, tetapi nilai itu adalah nilai minimal. Semoga saja uang Rp. 53 triliun ini tidak membebani APBN bangsa ini. Mudah-mudahan publik atau BUMN punya tekad untuk berinvestasi mengambil alih kendali atas "gunung emas" yang berada di Papua ini. Sehingga pemerintah tidak lagi perlu menambah utangnya.
Sumber daya alam Indonesia memang dikenal cukup kaya. Tapi sumber daya yang dimaksud adalah kekayaan yang pasti habis. Jikapun ada mungkin tinggal sedikit. Lalu jika ada bersumber fosil telah habis, sumberdaya alam apalagi yang bisa diandalkan sebagai aset atau cadangan untuk membayar utang?. Atau mungkin akan kembali ke masa suram kolonial dengan menaikan tarif dandiversityatas pajak dan pungutan lainnya.Â
Apakah betul pemerintah melihat rakyatnya sebagai aset untuk diperas melalui segudang kewajiban perpajakan? Jika itu terjadi, maka inilah ironi dari utang negeri ini. Nasibnya tak beda dengan petani gurem yang terlilit utang rentenir. Semua aset dijual untuk melunasi utang. Yang tersisa hanyalah diri dan pakaian yang dikenakan. Rumah dan semua aset telah disita. Dan itulah akhir dari utang yang tinggi tanpa dikelola dengan baik.Â
Utang besar dengan sumberdaya yang keropos akan meruntuhkan segala sendi kehidupan. Prinsip dasar besar pasak daripada tiang memang berlaku dan harus senantiasa diperhatikan oleh pengambil keputusan di negeri ini.
Dede Solehudin SE
Pengguna Medsos tinggal di Bali