Mohon tunggu...
Dede Permana
Dede Permana Mohon Tunggu... -

Dede Permana Nugraha, seorang penikmat kehidupan, tinggal di Tunis. Menulislah, katanya, niscaya dunia tau apa yang sedang kau pikirkan. Email : dedepermana@yahoo.com. Face Book : Dede Ahmad Permana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Guru Besar yang Bersahaja

4 Januari 2017   17:25 Diperbarui: 4 Januari 2017   17:30 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu teladan para guruku di Tunis yang sangat menginspirasi adalah keluhuran akhlak mereka, dibuktikan dengan kesahajaan dan kesederhanaan.

Sejumlah dosen senior yang bergelar guru besar (profesor), dikenal sangat ramah dan rendah hati. Mereka tak merasa gengsi mengajar di jenjang s1. Adik-adik kelasku yang kuliah s1 di Univ Zitouna, tiap hari menikmati perkuliahan berbobot yang disampaikan para profesor. Tanpa asisten-asistenan.Di Fakultas Peradaban, ada Prof Zu'airi (ahli hadits), Prof Hentati (Sejarah), Prof Allusy (tafsir), Prof Fethi Abidi (Ulumul Quran / Qiraat), juga Prof Nefati (Ushup Fiqh). Bahkan rektor pun, Prof Hisham Grissa, rajin masuk kelas pada jenjang S1. Di Fak Ushuludin, ada Prof Munjia (tafsir), Prof Bozguiba (Fiqh) dan Prof al Majdi (filsafat). Prof Nurdin Khadimi dan Prof Mounir Tlili - keduanya guru besar & mantan Menteri Agama - juga rajin ngajar, lalu shalat di musholla kampus bersama para mahasiswa.

Aku cukup sering mendampingi tamu dari tanah air, bertemu rektor. Hampir selalu dijadwalkan jam 17.00 sore, karena "Pak Rektornya ngajar dulu", kata Bu Saidah, sang sekpri. Pernah suatu saat, jelang jam 17.00, aku berdiri depan Gd  Rektorat. Dari arah gedung perkuliahan S1, aku melihat beliau datang.

Para guru besar itu rajin hadir ke kelas dan selalu tepat waktu. (Ini sebenarnya tipe umum orang Tunis : tepat waktu). Kalo sekali-kali mereka berhalangan, para mahasiswa jangan senang dulu.. Kelak mereka akan menjadwalkan hissoh ta'widhiyah (jam pengganti) pada akhir semester.

Mereka juga berpenampilan sederhana. Mobil mereka umumnya tua dan lusuh, bukan mobil mewah. Banyak juga yang berangkat ke kampus naik angkutan umum. Entah karena tidak punya kendaraan atau memang  mereka tdk mau membawanya ke kampus. Ini pengamatanku ya.

Prof Nefati - supervisor disertasiku - biasa naik taxi. (Taxi di Tunis ini jarang yang bagus, semua tanpa AC. Ongkosnya memang murah). Beberapa kali aku menemuinya saat beliau berdiri di halte, nunggu taxi. Pernah suatu ketika, aku menemaninya ngobrol di halte, hingga aku diajak ikut naik taxi menuju rumahnya. Sepanjang jalan, kami melanjutkan diskusi yang tadi tertunda.

Beberapa di antara mereka berangkat dari rumah naik trem ke stasiun Barcelona, di pusat kota Tunis. Dari situ mereka jalan kaki menuju kampus. Jaraknya sekitar 1,5 km, melewati pasar Sidi Basyir yang padat itu. Jarak ini biasa ditempuh dengan 20 menit. Mengapa tidak naik taxi? Untuk ukuran orang Tunis, jarak ini terhitung dekat. Sopir taxi akan bilang, "jarak segitu mah jalan kaki saja". Di kota Tunis ini, berjalan kaki - terutama di kwsn kota tua - memang hal biasa. Karena itulah, aku sering berpapasan dengan Prof Allusy, Prof Fethi Abidi, atau Prof Ali Oulwi, atau beberapa dosen lain. Mereka berjalan menjinjing tas, dalam perjalanan menuju kampus atau sebaliknya.

Oya mereka juga rajin ke perpustakaan, membaca buku, tak segan duduk berdampingan dengan para mahasiswanya. Seperti suatu ketika aku bertemu Prof Ali Oulwi di perpus kampus. "Bpk sedang cari data utk riset yah?", tanyaku menerka-nerka. "Oh tidak", jawabnya, "Saya ke sini sedang mengecek akurasi bbrp referensi seorang mahasisawa bimbinganku dalam thesisnya", kata beliau. Wow, subhanalloh. Beliau sangat khawatir mahasiswanya menulis thesis secara copas..

Yang sempat mengagetkanku, umumnya mereka menolak hadiah dari mahasiswanya. Apalagi berupa uang. Kisah ini sering aku dengar, bahkan kualami sendiri, seingatku dua kali. Salah satunya, ketika seorang teman menitipkan oleh-oleh untuk dosen pembimbingnya, berupa aneka souvenir. Di sela souvenir itu rupanya ada amplop tebal, berisi uang. Siang hari, kuserahkan titipan itu. Malam hari, sang dosen menelponku, mengapa harus ada uang di souvenir itu? Tahukah kalian, kami tdk pernah mengambil hadiah berupa uang dari mahasiswa? Aku sangat terhina dengan pemberian ini...bla bla bla.. Aku hanya terdiam. Dan keesokan harinya, dengan kepala tertunduk, aku menerima pengembalian amplop itu..

Aku kadang bertanya-tanya, apakah mereka tidak butuh uang? Ah, masa sih. Dosen juga manusia, pikirku.

Aku juga penasaran, mengapa mereka memilih jalan kaki atau naik kereta? Mengapa mereka tidak membeli kendaraan? Padahal gaji mereka besar.  Aku tau banget berapa angka-angka gaji guru di Tunis. Di negeri berpenduduk 12 juta jiwa ini, guru dan dosen adalah profesi favorit, karena gajinya tinggi. Buah dari alokasi 26 persen APBN untuk pendidikan. (Pada zaman Habib Borguiba 1956-1987 malah 33 %).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun