Mohon tunggu...
Dede Permana
Dede Permana Mohon Tunggu... -

Dede Permana Nugraha, seorang penikmat kehidupan, tinggal di Tunis. Menulislah, katanya, niscaya dunia tau apa yang sedang kau pikirkan. Email : dedepermana@yahoo.com. Face Book : Dede Ahmad Permana

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Revolusi di Tunisia Bisa Berlangsung Damai

25 November 2014   18:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:54 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sikap mau mengalah ini, terutama ditunjukkan oleh pada politisi partai Nahdah, pemenang Pemilu Legislatif tahun 2011. Dalam Pemilu jurdil pertama di era revolusi itu, partai kembaran Ikhwanul Muslimin ini meraih 90 kursi, dari 217 kursi parlemen. Nahdah pun memegang tampuk kursi pemerintahan.

Seharusnya, pemerintahan hasil Pemilu 2011 itu berlangsung hingga Pemilu 2014 ini. Tapi apa yang terjadi? Selama 3 tahun berkuasa (2011-2014), pemerintahan Nahdah tak henti digoyang. Kaum oposisi yang berhaluan sekuler terus merongrong. Pemerintahan Islam diganggu dengan berbagai persoalan, dari kasus salafi hingga penembakan tokoh politik.  Imbasnya, pemerintahan Nahdah terusik, hingga 3 kali ganti cabinet.

Saya datang ke Tunis Nopember 2012. Hingga Nopember 2014 ini – atau tepat 2 tahun keberadaanku - total 3 kali pergantian Perdana Menteri dengan 3 paket kabinetnya. Nahdah mau saja mengikuti desakan-desakan mundur kaum oposisi, tiada lain demi kemaslahatan negara secara luas.

Salah satu kunci utama keluwesan sikap politik Nahdah ini tak lepas dari sosok Syekh Rashid Ghannushi, pemimpin spiritual sekaligus pemimpin partai Nahdah. Ghannushi, seorang intelektual-ulama yang dikenal moderat yang sangat berpengaruh kuat di Tunis. Di bawah kepemimpinannya, Nahdah sangat kompromistis dalam perundingan-perundingan, tidak ngotot mengusung formalisasi syariat, menuruti kemauan para pesaingnya untuk tidak mengusung capres sendiri pada Pilpres 2014 kemaren, mudah menerima tawaran koalisi, dan sebagainya.

Ketiga, netralitas militer. Saya menyaksikan betapa rakyat Tunisia sangat membanggakan militernya. Bangga karena mereka tidak ikut-ikutan berpolitik. Mereka murni mengabdi demi kepentingan rakyat, selalu berada di pihak rakyat, tanpa tergoda oleh manisnya kue kekuasaan.

Sudah menjadi cerita popular di Tunis, ketika presiden Ben Ali digoyang demo besar-besaran pada penghujung tahun 2010 dan awal 2011. Ben Ali menginstruksikan panglima militer untuk mengambil tindakan mengamankan para pendemo yang sudah mulai radikal. Kalo perlu, para pendemo yang anarkis itu di-dor saja, demikian kira-kira titah sang Presiden. Apa yang terjadi? Apakah sang panglima mematuhinya? Ternyata tidak. Justru ia balik kanan, meninggalkan sang presiden, dan bergabung bersama rakyat.

Andai saja militer Tunis kala itu bisa disetir seperti di Mesir, mungkin lautan pendemo di alun-alun Habib Borguiba Avenue tanggal 14 Januari 2011 lalu dibabat habis. Tragedy Rab’ah bisa terjadi di Tunis. Tapi ternyata tidak. Karena militernya tidak mau menembaki rakyat.

Pasca revolusi ini, militer kembali dielu-elukan rakyat, karena tak henti berjuang menumpas kaum teroris radikal yang belakangan ini mengusik ketenangan rakyat. Rakyat menyaksikan bagaimana militer melakukan penyerbuan ke bukit Sha’anbi, di Tunisia selatan, dekat perbatasan Aljazair. Di bukit ini, jaringan Al Qaeda cabang Mangrib Arabi bermarkas. Konon, mereka sedang menyiapkan proklamasi Negara Islam Magrib Arabi.

Keempat, intervensi asing yang minim. Amerika tidak begitu tertarik untuk ikut-ikutan bermain dalam proses revolusi di Tunisia, apalagi mengendalikannya. Mungkin karena Tunisia adalah negara kecil, tidak punya apa-apa, dan bukan negara berpengaruh.

Coba lihat perjalanan  revolusi di negara tetangga sebelah : Libya. Amerika begitu sibuk terlibat, karena Libya memang negeri penghasil minyak. Ibarat pepatah, di mana ada gula, di situ ada semut. Irak nun jauh di sana juga sama ; diintervensi Amerika sehingga konflik berkepanjangan terus terjadi. Karena nampaknya Amerika juga tergiur dengan minyak yang melimpah di negeri Saddam Hussein ini.

Di Mesir, intervensi Amerika juga besar. Tetapi bukan karena factor minyak, karena Mesir bukan negara penghasil minyak. Mesir adalah negara Arab terbesar, dan pengaruhnya sangat kuat di Timur Tengah. Menguasai Mesir adalah salah satu kunci utama untuk menguasai Arab. Demikian kira-kira pikiran Amerika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun