Mohon tunggu...
R. Deden A.K.Y.G.B.K.S
R. Deden A.K.Y.G.B.K.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemerhati Politik Lokal, Tokoh Nasionalis Kebumen, Peneliti Politik

Membidangi Politik Desentralisasi, Komisi Negara dan Demokrasi, Kebijakan Publik, Manajemen Partai Politik dan Tata Kelola Pemilu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Santri, Nalar Kebangsaan dan Proyeksi Kekuatan Politik 2024

27 Oktober 2022   08:36 Diperbarui: 27 Oktober 2022   09:09 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Struktur masyarakat dalam konsep tata sosial Indonesia tidak bisa terlepas dari kalangan santri. Bukan hanya aktivitasnya dalam pesantren yang dipandang sebagai orang paham akan agama. 

Namun peranannya dalam perjalanan sejarah Ke-Indonesiaan telah melahirkan realitas sosial politik yang berkesinambungan hingga saat ini, sehingga kalangan santri menjadi objek sekaligus subjek dalam berpolitik.

Secara etimologis santri memiliki makna yang beragam, Dalam pandangan Nurcholis Madjid santri berasal dari Bahasa sansekerta "sastri" yang memiliki arti melek huruf. 

Pendapat tersebut didasarkan atas aktivitas kaum santri sebagai kaum literary yang berupaya mendalami agama dari kitab-kitab yang berbahasa Arab. Ia juga menambahkan asal kata santri ialah "cantrik" yang mana dalam istilah Jawa dimaknai sebagai orang yang selalu mengikuti guru "gandulan" kemana ia menetap.

Sebagai bagian dari unsur pesantren, santri mengalami perbedaan dengan siswa dan mahasiswa yang umumnya berpendidikan di institusi formal tanpa mengenyam pesantren. Santri erat dengan agama yakni Islam. 

Tujuannya pesantren membina santri adalah untuk membangun iqomatuddin sebagaimana tertuang dalam surah At-Taubah ayat 122 yang artinya "tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya".

Pada ayat tersebut menjelaskan keharusan adanya pembagian tugas mu'mini untuk iqomatuddin. bagian kedua yaitu kewajiban adanya nafar, tho'ifah, kelompok, lembaga atau jama'ah yang mengkhususkan diri untuk menggali ilmuddin supaya mufaqqih fiddin. 

Bagian ketiga mewajibkan kepada insan yang tafaqquh fieddin untuk menyebarluaskan ilmuddin dan berjuang untuk iqomatuddin dan membangun mayarakat masing-masing.

Tidak hanya mengajarkan persoalan dalil, namun nalar kritis di uji bila menyandang status sebagai santri. Metode pembelajaran yang sangat pesantren dengan cara keteladanan (uswah hasanah), mengambil pembelajaran (ibrah), nasihat (mauidah), pujian dan hukuman (targhib wa tahzib) menghasilkan output karakter khas santri. 

Nampak bila ada santri bertemu dengan orang yang lebih tua, atau dianggap lebih tinggi, meskipun derajat keilmuan agamanya lebih tinggi, kalangan santri menundukan tubuhnya bahkan berjalan dengan posisi yang lebih rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun