Di sebuah rumah di pinggiran Zarindah Samata Gowa, seni tidak dipajang, tetapi hidup. Ia menempel pada dinding, tergantung dari langit-langit, bertengger di sudut-sudut ruang tamu, kadang dalam wujud yang tak disangka, ada parut kelapa, senapan angin, layangan anak-anak dan banyak lagi. Rumah itu tidak dibangun untuk menjadi galeri mini, tetapi pelan-pelan menjelma jadi museum kecil tentang kehidupan. Di sanalah, sebelum Jumat yang sunyi itu datang, saya berbincang dalam Podcast spotify voice dede leman dengan almarhum Kanda Dr. Abdul Halik, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.
Bagi Kanda Halik, seni tidak bisa dipenjara dalam kategori sempit seperti "estetika" atau "keindahan visual." Seni, dalam pandangan Islam yang ia dalami, adalah jejak sejarah sekaligus jendela eksistensial. Ia lebih suka melihat seni sebagai sebuah proses hidup pengalaman yang merentang dari masa lampau, membentuk makna di masa kini, dan akhirnya menciptakan kemungkinan bagi masa depan. Seni, dalam tafsirnya, adalah ruang tafakkur yang lentur.
Perspektif itu tidak datang dari sekadar ruang kelas atau buku-buku referensi akademik. Ia tumbuh dari pengamatan yang peka, dari keintiman dengan benda-benda sederhana, dan dari pemahaman teologis bahwa manusia adalah makhluk pencipta (khliq aghr), pencipta kecil yang mewarisi sedikit dari sifat Tuhan yang Maha Pencipta.
Melalui artefak benda-benda tinggalan Kanda Halik membaca sejarah peradaban. Ia memandang seni bukan sebagai karya lepas dari konteks, tetapi sebagai perwujudan dari zamannya. Sebuah batu nisan, misalnya, adalah lebih dari sekadar penanda kematian. Ia adalah dokumen budaya yang menampakkan bagaimana manusia menata simbol tentang hidup dan mati. Beliau mencontohkan sebuahh bongkahan batu polos, bertransformasi menjadi ukiran kayu atau pahatan marmer, perubahan itu mencerminkan cara pandang yang berubah tentang estetika, teknologi, dan spiritualitas.
Dengan demikian, pertanyaan tentang apakah seni masa kini lebih unggul dari masa lalu tidak akan pernah menemukan jawaban mutlak. Sebab, yang lama unggul dalam konteksnya, sebagaimana yang baru pun demikian. Dan seperti yang ia katakan dalam salah satu renungan terakhirnya, "kita juga akan klasik di masa depan." Suatu frasa yang bukan sekadar refleksi, tetapi sekaligus sindiran bagi zaman yang sering tergesa menilai masa lalu sebagai kuno, dan masa kini sebagai puncak.
Dalam paradigma epistemologi Islam, pembacaan Halik sangat dekat dengan konsep al-jaml dan al-ikmah. Kecantikan bukanlah semata kenikmatan inderawi, tetapi ekspresi dari keteraturan, proporsionalitas, dan nilai-nilai ruhani. Seni, dalam kerangka ini, adalah perpanjangan dari pencarian makna. Maka tak heran bila ia menolak dikotomi antara artefak klasik dan produk modern secara tajam. Karena setiap zaman menciptakan simbolnya sendiri. Keduanya valid sebagai ekspresi jiwa manusia yang terus berubah.
Yang membuat pemikiran Kanda Halik berbeda bukan karena ia membawa teori baru, melainkan karena ia mempraktikkan kebijaksanaan lama dengan kepekaan baru. Ia tidak mengultuskan masa lalu, tapi juga tidak membabi buta terhadap modernitas. Ia menimbang zaman seperti seorang arsitek menimbang material: apa yang kuat, apa yang rapuh, apa yang bisa dipakai ulang.
Kini, setelah kepergiannya pada Jumat 11 Juli 2025, pemikiran itu bergaung sebagai gema tidak dalam bentuk doktrin akademik, tetapi dalam kesadaran akan pentingnya menyematkan nilai pada benda-benda biasa, pada percakapan harian, dan pada jejak keseharian yang kelak akan menjadi "klasik" bagi generasi berikutnya.
Jika ada pelajaran yang bisa ditarik dari perbincangan kami waktu itu, maka barangkali inilah yang paling penting: seni bukan tentang menjadi besar, indah, atau terkenal. Ia adalah tentang keterhubungan antara waktu, manusia, dan makna. Dan dalam koneksi itulah, seni menemukan janjinya untuk abadi. #dede leman
Selamat jalan menuju keharibaan Ilahi Kanda Halik..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI