Imam Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh besar dalam khazanah keilmuan Islam yang memberikan kontribusi besar terhadap konsep pendidikan. Pemikirannya tidak hanya mencakup aspek intelektual, tetapi juga dimensi moral, spiritual, dan sosial. Dalam pandangannya, pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan proses penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pembentukan akhlak mulia. Gagasan Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya' 'Ulum al-Din menegaskan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat melalui ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.
Al-Ghazali memandang ilmu sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan sebagai alat untuk mencari kedudukan atau kemewahan duniawi. Ia membagi ilmu ke dalam tiga kategori: ilmu terpuji (mahmdah), ilmu tercela (madhmmah), dan ilmu mubah (mubhah). Ilmu terpuji adalah ilmu yang membawa manfaat bagi manusia dan memperkuat keimanan, seperti ilmu agama dan moral. Ilmu tercela adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketaatan kepada Allah, sedangkan ilmu mubah adalah ilmu duniawi yang boleh dipelajari selama digunakan untuk kebaikan. Klasifikasi ini menunjukkan pandangan Al-Ghazali yang menekankan fungsi etis dan spiritual dari ilmu pengetahuan.
Dalam konsep kurikulum pendidikan, Al-Ghazali memandang bahwa pelajaran harus disusun secara bertahap, dimulai dari ilmu dasar menuju ilmu yang lebih kompleks. Proses pendidikan menurutnya tidak boleh hanya menekankan aspek kognitif, tetapi harus mencakup dimensi afektif dan psikomotorik, terutama pembentukan adab. Guru memiliki peran penting sebagai teladan moral dan pembimbing spiritual yang mengarahkan peserta didik untuk berilmu sekaligus berakhlak. Ia menegaskan, "Seorang guru hendaknya mengajar bukan untuk mencari imbalan, tetapi untuk mendekatkan manusia kepada Allah." Prinsip ini relevan bagi dunia pendidikan modern yang sering terjebak pada orientasi material dan prestasi semu.
Lebih jauh, Al-Ghazali menegaskan bahwa pendidikan sejati harus melibatkan integrasi antara akal dan hati. Akal berfungsi memahami ilmu, sedangkan hati menjadi tempat tumbuhnya iman dan moralitas. Jika pendidikan hanya mengandalkan akal tanpa hati, maka hasilnya adalah manusia cerdas namun kehilangan arah moral. Sebaliknya, jika hati dididik tanpa ilmu, maka manusia akan terjebak dalam fanatisme dan kebodohan. Oleh sebab itu, keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas menjadi kunci keberhasilan pendidikan menurut Al-Ghazali.
Dalam konteks pendidikan Islam kontemporer, pemikiran Al-Ghazali sangat relevan untuk menjawab krisis moral dan degradasi nilai yang terjadi di masyarakat modern. Pendidikan saat ini sering terfokus pada pencapaian akademik, sementara aspek akhlak dan spiritual diabaikan. Pandangan Al-Ghazali dapat menjadi dasar pengembangan kurikulum yang berorientasi karakter dan berbasis nilai-nilai tauhid. Guru harus menjadi teladan dalam kejujuran, kesederhanaan, dan kasih sayang, sebagaimana digambarkan dalam prinsip uswah hasanah (keteladanan).
Pada akhirnya, Al-Ghazali mengajarkan bahwa keberhasilan pendidikan bukan diukur dari banyaknya pengetahuan yang dikuasai, tetapi dari sejauh mana ilmu itu mampu menumbuhkan kesadaran moral dan kedekatan kepada Allah SWT. Konsep pendidikan yang digagasnya menjadi refleksi penting bagi sistem pendidikan Islam saat ini agar lebih humanis, spiritual, dan bermakna. Dengan meneladani pemikiran Al-Ghazali, pendidikan Islam dapat kembali ke ruh aslinya: membentuk manusia berilmu, berakhlak, dan beriman---yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI