Mohon tunggu...
DW
DW Mohon Tunggu... Freelancer - Melihat, Mendengar, Merasa dan Mencoba

Setiap Waktu adalah Proses Belajar, Semua Orang adalah Guru, Setiap Tempat adalah Sekolah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arogansi Mematikan Nurani

8 Maret 2023   11:41 Diperbarui: 8 Maret 2023   12:26 1149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, bagaimana jika situasi yang ada justru berbeda total. Si Abang justru semakin menyulut emosi, karena si abang itu bicara kasar dan menyalahkan kita. Apa yang terjadi? 

Bisa kita terbawa emosi dan ikut-ikutan kasar dan (bisa jadi) kita akan main fisik. Tapi hal ini biasanya tidak akan lama, ketika ada orang lain yang melerai, meminta kita untuk tenang. Luapan emosi itu akan mereda, dan mulai berpikir jernih menimbang segala aspek; untung rugi, malu dilihat orang banyak, melihat sisi positifnya (ah untung cuma baret doang), dan kemungkinan kita berdamai.

Bisa kita simpulkan ketika ada luapan emosi karena sebuah kejadian, apapun respon pemicunya (apakah merendah atau meninggikan emosi) akan ada titik di mana emosi diri kita akan kembali mereda dan menyadari perilaku kita. 

Berbeda dengan arogan, orang yang arogan tidak akan puas meskipun lawannya sudah merendah, ia butuh pengakuan bahwa ia lebih hebat dari lawannya dengan cara bertindak. Logika berpikirnya pun hilang, ia tidak lagi memikirkan risiko lainnya, dorongan untuk menujukkan ia lebih berkuasa lebih penting dari risiko yang akan dihadapi.

Dalam konteks kasus yang sedang viral saat ini, di mana MDS yang dengan keji menganiaya D meskipun D sudah terkapar, ini jelas bentuk arogansi. MDS perlu meyakinkan dirinya lebih hebat, lebih kuat, lebih berkuasa dari D. Lebih-lebih ada temannya S yang menyaksikan, maka perlu penegasan bahwa dirinya lebih dari D. Mata hatinya telah lama mati, karena selama ini ada di lingkungan yang selalu memberikan stempel bahwa MDS memang lebih dari yang lain. 

Menjadi manusia yang memanusiakan orang lain.


Apa yang terjadi haruslah menjadi pelajaran bagi kita semua, betapa arogansi itu menghancurkan masa depan. Perlu kita tela'ah lagi perilaku kita, merasakan apa yang orang lain rasakan. Bangun empati sesama manusia, dan manusia kan orang lain. 

Memanusiakan orang lain berarti selalu berperilaku baik, menghargai serta menghormati harkat serta derajat manusia lainnya. 

Sadari bahwa kita bukan Tuhan yang bisa menentukan nasib dan takdir orang lain, kita tidak sedang "Cosplay" menjadi Tuhan yang seenak udelnya merasa lebih hebat dari manusia lain. 

Semoga bermanfaat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun