Awalnya, saya merasa sakit hati. Namun, setelah itu saya malah merasa perlu untuk membombardir media menulis dengan hasil tulisan "cakar ayam" saya.
Saya melakukannya tentu tidak dengan sembarangan. Saya perlu menentukan apa yang tepat untuk saya tulis dan tidak bakal disentuh oleh orang lain, terutama yang kenal saya.
Saya akhirnya memilih menulis bola, karena di situlah orang-orang di sekitar saya seperti buta dengan bola. Mungkin, mereka tahu, tapi itu hanya sebagai bagian dari kesenangan atau hiburan.
Bukan sebagai objek penting yang harus digerakkan secara literatur. Wong, para penyuka sepak bola kebanyakan juga cuma bisa teriak "gol" dan "aduh" kalau sedang menonton pertandingan.
Selepas pertandingan, mereka juga cuma pusing dengan skor, bukan dengan permainan. Paling mentok cuma bisa mencaci-maki pelatih dan/atau pemain. Selebihnya, tidak ada.
Bahkan, kalau misalnya tidak terima dengan penggambaran itu, lalu apa yang membuat mereka menyukai klub-klub bola kalau bukan karena prestasi?
Kalau misalnya ada yang suka Tottenham Hotspur, baru saya angkat topi. Karena, apa yang mereka jadikan alasan untuk menyukainya sudah pasti bukan karena gelar.
Lewat perhitungan inilah saya menjadi tahu bahwa menulis itu juga tidak asal menulis. Tidak asal berekspresi. Menulis juga perlu melihat kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah.
Tetapi, cara itu bukan saya lakukan untuk membuat berbeda atau terlihat unik. Ini lebih ke upaya membaur terlebih dahulu.
Memang, dulu saya berpikir kalau menjadi penulis yang objek tulisannya berbeda, akan terasa lebih keren. Tetapi, pada kenyataannya, itu cenderung seperti selfish dan asyik sendiri.
Di luar konteks menulis, saya memang jarang berinteraksi dan cenderung tertutup. Tetapi, dalam konteks menulis, saya berupaya untuk membaur. Dengan siapa saja, lewat objek apa saja.