Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ketika Orang Tua Memperkenalkan Anak dengan Ibadah

2 Mei 2021   19:52 Diperbarui: 6 Mei 2021   07:27 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak beribadah. Sumber: Pexels/Abdullah Ghatasheh

Saat kecil atau juga saat remaja, saya didekatkan kepada ajaran agama termasuk ketika berada di bulan Ramadan. Ada tiga hal yang diperkenalkan orang tua, terutama dari ibu kepada saya tentang ajaran agama.

Hal pertama, membiasakan diri untuk mengucap doa saat mengawali sesuatu. Permulaannya, saya dikenalkan dengan sebuah buku yang memuat banyak kumpulan doa untuk mengawali dan mengakhiri berbagai aktivitas.

Menariknya, dalam proses ini saya tidak diuji secara langsung tentang kehafalan saya terhadap doa-doa tersebut. Yang dilakukan ibu adalah mencoba mendorong secara implisit hafalan saya ketika ada pelafalan doa yang biasanya terdengar di radio.

Saat itu dan saat Ramadan, biasanya ada sesi-sesi tertentu yang menghadirkan pembacaan doa.

Contohnya, ketika di luar Ramadan dan saat siang hari selepas azan Zuhur, ada "anak kecil" (penyiar bersuara karakter anak kecil) yang membaca doa 'sebelum makan' dan 'seusai makan' yang merujuk pada aktivitas makan siang.

Saat Ramadan juga begitu. Ketika sudah azan Magrib, ada pembacaan doa 'berbuka puasa'.

Ketika itu terdengar, ibu saya ikut melafalkannya yang kemudian mendorong saya untuk mengikutinya. Setelah itu, saya menjadi terbiasa ikut melafalkannya meski ibu saya sudah tidak peduli dengan aktivitas tersebut.

Artinya, setelah memberi contoh, anak diberikan kepercayaan untuk istikamah secara mandiri terhadap apa yang sudah dilakukan. Anak tidak perlu terus dikawal dalam melakukan kebaikan.

Ketidakpedulian itu secara implisit juga mengajarkan saya untuk mengucapkan doa tanpa harus terlihat berdoa. Praktik ini juga dapat dilakukan ketika memasuki rumah yang biasanya diawali dengan mengucap salam tanpa harus terdengar, yaitu ketika rumah sedang sepi.

Atau, memang tidak mengharuskan untuk mengucapkan salam secara verbal. Contohnya, ketika memasuki sebuah ruang umum seperti kafe, atau memasuki kos teman yang kebetulan teman tersebut adalah nonmuslim.

Hal kedua, memberikan contoh rutinitas beribadah salat sejak dini. Permulaannya, saya setiap hari sejak sudah berada dalam fase sadar, yang artinya ketika kecil saya sudah bisa mengingat beberapa kejadian, di situlah muncul momen saya melihat ibu beribadah salat.

Saya yang masih kecil memang tidak pernah diajak salat. Tetapi, saya selalu menyaksikan ibu beribadah sembari saya tetap berada di atas ranjang dengan terkadang masih ada kelambu tipis transparan yang tidak sepenuhnya dibuka.

Artinya, dalam mengajarkan ibadah kepada anak, orang tua tidak harus langsung mengajak anak untuk berpraktik. Orang tua bisa membangun keinginan anak untuk beribadah lewat cara memberikan contoh.

Satu lubang peristiwa yang mungkin dipertanyakan adalah mengapa bisa demikian?

Sebenarnya, saya tidak pernah bertanya langsung tentang mengapa saya dulu tidak pernah diajak salat ketika kecil. Tetapi, saya pikir ini adalah hasil dari masa lalu ibu saya ketika mengenal Islam.

Dulu, ibu saya mengenal Islam lewat pencarian jati diri, bukan lewat warisan pengetahuan dari orang tua. Ini dikarenakan ada interpretasi ibu saya terkait bagaimana ajaran Islam rupanya tidak sepenuhnya selalu dicerminkan oleh penganutnya.

Itu yang membuat ibu mencari kebenarannya. Pintu utamanya adalah dengan mengenal kisah-kisah tentang Nabi Muhammad saw yang diceritakan oleh guru agamanya di kelas. Sejak itulah, ibu meyakini Islam.

Apa yang dipraktikkan pun kemudian lebih mengarah pada hasil literasinya, bukan karena warisan orang tua. Hal ini yang sepertinya juga diterapkan ke saya.

Ilustrasi anak dan ibunya. Sumber: Thinkstock via Kumparan.com
Ilustrasi anak dan ibunya. Sumber: Thinkstock via Kumparan.com
Awalnya, saya berpikir bahwa ini karena saya laki-laki, maka sebaiknya yang mengajak beribadah adalah pihak bapak. Tetapi kemudian, saya juga melihat seorang ibu--menurut asumsi saya--mengajak anak laki-lakinya salat ketika di rumah, yang kemudian menjadi kebiasaan sampai di tempat ibadah umum.

Itu adalah asumsi berdasarkan logika saya sebagai anak laki-laki yang secara perasaan--yang tidak bisa dijelaskan--selalu merasa lebih nyaman dekat dengan ibunya. Maka, ini bisa juga terjadi kepada anak laki-laki itu ketika ikut berjamaah di tempat ibadah umum (masjid/musala).

Bisa saja, dia merasa lebih nyaman beribadah di dekat ibunya daripada dengan ayahnya. Apalagi, kalau ternyata ia adalah anak yatim.

Mungkin, ada kesan pertama berupa ketidaknyamanan ketika berada di lingkungan luas dan penuh laki-laki. Dan menurut saya, itu bisa saja karena di rumah dia merasa familier beribadah di dekat ibunya. Atau, tidak dalam keadaan seramai itu.

Maka dari itu, saya secara pribadi akhirnya merasa mendapatkan dampak positif ketika kecil tidak dibiasakan berpraktik ibadah langsung bersama ibu. Ini yang membuat saya ketika masuk ke masjid pertama kali tidak pernah merasa canggung.

Hanya saja, saya terkadang pernah berandai-andai kalau dulu ketika kecil, saya dapat berjamaah di dekat orang tua. Terutama dengan ibu. Itu adalah cita-cita yang tidak akan kesampaian, karena saya tidak mungkin kembali kecil.

Namun, rasa iri itu bisa tergantikan oleh momen ketika saya dapat mengimami salat ibu saya. Rasanya, itu sangat bermakna dan sulit dilukiskan dengan bentuk apa pun.

Ini juga bisa menjadi bukti, bahwa memberikan contoh ternyata tidak kalah manjur dari mengajak berpraktik langsung. Walaupun, bisa saja terlihat terlambat bagi orang lain. Tetapi, sebagai anak, saya merasa diberikan peluang sebesar-besarnya untuk mengenal salat lewat literasi.

Hal ketiga yang perlu diperkenalkan adalah berpuasa kala Ramadan. Mirip dengan apa yang dilakukan ibu saya dalam memperkenalkan salat, ibu tidak memaksa saya untuk berpuasa ketika kecil.

Saya juga diperkenalkan seluk-beluk ibadah kala Ramadan lewat buku. Saat itu, ada buku saku yang memberikan pengetahuan tentang ibadah puasa, hukum berzakat, dan salat Idul Fitri.

Ilustrasi mengajak anak membaca atau mencari pengetahuan bersama. Sumber: Thinkstock via Kompas.com
Ilustrasi mengajak anak membaca atau mencari pengetahuan bersama. Sumber: Thinkstock via Kompas.com
Dari buku itulah saya dapat memulai perjalanan menghafal doa bersahur dan berbuka puasa. Kemudian, juga mengetahui cara beribadah salat Idul Fitri. Termasuk, mengetahui alasan ibu saya juga tetap berzakat, walau terkadang tidak berada dalam ekonomi yang bagus.

Artinya, dalam proses mengenal berpuasa Ramadan, saya didekatkan oleh literasi dan contoh. Tidak ada paksaan untuk berpuasa, bahkan ketika saya sudah SD termasuk ketika SMP.

Seperti yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya, ketika SMP, saya berangkat dan pulang sering berjalan kaki. Kalau tidak dalam momen Ramadan, itu bukan masalah besar.

Tetapi, kalau dalam momen Ramadan, itu sangat menjadi rintangan besar. Itulah mengapa, saat SMP, saya tidak pernah diharuskan oleh ibu untuk berpuasa.

Ini yang kemudian membuat saya bukannya makin jauh dari Islam, malah membuat saya menempatkan Islam tetap di pikiran dan perasaan saya. Alasannya sederhana, yaitu dalam proses mempelajari agama, saya tidak pernah dipaksa oleh orang tua.

Itu yang membuat saya menjadi respek terhadap ajaran Islam, karena ternyata mampu menghadirkan sosok seperti ibu saya. Itu pula yang seringkali membuat saya heran ketika ada orang tua terkadang ketahuan telah memaksa anaknya untuk beribadah hanya agar dapat dianggap sebagai orang Muslim.

Padahal, beribadah tanpa ada dorongan dalam diri sendiri, itu--menurut saya--adalah kesia-siaan. Itu seperti ketika anak dimintai berbelanja ke warung, tetapi, anaknya terpaksa. Akibatnya, bisa saja belanjaannya salah, atau uang kembaliannya tidak dikembalikan ke orang tua.

Coba kalau si anak mau tulus membelanjakan apa yang diminta orang tuanya, maka besar kemungkinan dia tidak akan mengambil uang kembaliannya. Sesederhana itu logikanya.

Kalau ingin mengajarkan ibadah kepada anak, menurut saya cara paling logis adalah memberikan literasi dan contoh. Memang, simbol pemaksaan atau istilah halusnya adalah "agama warisan" mungkin bisa dilihat lewat pencantuman identitas agama di kartu pelajar atau kartu identitas anak.

Tetapi, dalam praktiknya, anak bisa diizinkan untuk mempelajarinya tanpa harus ada tuntutan eksplisit. Biarkan tuntutan dalam belajar agama hadir di lingkungan sekolah, tetapi tidak di dalam rumah.

Karena, belajar agama berbeda dengan belajar matematika. Agama menurut pemahaman dangkal saya adalah pelajaran seumur hidup yang menyangkut tautan perasaan selain pemikiran.

Itulah mengapa, belajar agama tidak bisa disamakan dengan belajar matematika yang boleh dipaksakan sampai si anak menangis. Karena, menurut pengalaman saya, saya lebih menghargai pengalaman saya menangis karena diharuskan hafal rumus perkalian dan pembagian, daripada seandainya saya harus menangis karena dipaksa beribadah.

Agama menurut saya suci. Biarkan anak dapat menemukan kesucian itu pada waktu yang tepat sekalipun terlambat.

Atau, kenali karakteristik anak ketika memperkenalkan agama. Karena, ada karakter-karakter tertentu yang malah semakin memberontak kalau harus diajarkan agama hingga ke tahap pemaksaan.

Bukannya si anak akan menurut, malah anak akan menganggap orang tuanya bertangan besi dengan mengatasnamakan agama. Padahal, menurut saya, tidak ada agama yang menghalalkan sikap otoriter.

Kalau agama menghalalkan sikap otoriter, maka semua manusia akan saling merampas hak beragama masing-masing. Tentu, itu akan lebih kejam daripada tindakan iblis, sekalipun iblis dapat merasuk ke pikiran manusia.

Tetapi, tidak akan ada iblis yang menang kalau manusia dapat bernalar. Termasuk dalam hal beragama.

Beragama juga perlu bernalar, karena semua yang ada di sana bersangkut-paut pada kebenaran. Tidak akan ada kebenaran kalau tidak ada penalaran.

Keajaiban memang pada masanya perlu hadir untuk dapat memahamkan ajaran agama kepada umat manusia. Tetapi, itu cara untuk menumpas kebodohan akut (jahiliyah) di masa itu.

Sedangkan, di masa sekarang, kebodohan umat manusia menurut saya tidak separah itu. Maka, dalam memberikan pemahaman tentang agama akan lebih tepat jika melalui rangkulan kemanusiaan (humanitas).

Itu juga akan semakin luar biasa kalau diusung oleh kaum orang tua. Karena, anak-anaknya akan merasa dikenalkan hakikat dalam beragama, yaitu meyakininya dengan ketulusan bukan keterpaksaan.

Apa pun yang berawal dari keterpaksaan akan menjadi ketidaknyamanan. Tentu, akan menjadi buruk kalau seandainya itu terjadi dalam proses mempelajari agama, terutama untuk mempraktikkan ibadahnya.

Sebagai penutup, saya hanya ingin berpesan kepada pembaca, bahwa tulisan ini murni hanya merupakan pembagian pengalaman saya sebagai anak saat belajar beribadah. Perasaan dan sudut pandang saya sangat mungkin berbeda dengan kaum orang tua, atau juga kaum ahli agama terutama Islam.

Jadi, mohon dimaklumi, dan mohon dibaca dengan ketenangan pikiran. Terima kasih.

Malang, 2 Mei 2021
Deddy Husein S.

Tulisan sebelumnya: Sebuah Tradisi "Yang Penting Sahur"

Terkait: Doaharianislami.com, Bdkjakarta.kemenag.go.id, Kumparan.com, Elearning2.unisba.ac.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun