Coba perhatikan gambar berikut:
Namun, hubungan lain bisa sangat kuat, kalau memang sudah melampaui batas-batas kesengsaraan bersama. Karena, hampir seluruh hubungan antara anak dengan orang tuanya pasti pernah menempuh masa kesengsaraan bersama, bahkan bisa sangat lama.
Itulah yang nantinya bisa menumbuhkan, mengembangkan, hingga mengokohkan rasa cinta. Apakah kemudian dalam hubungan berpacaran sudah seperti itu? Apakah patokan kesengsaraan hanya sebatas selalu ada?
Bagaimana, kalau itu sebenarnya bagian dari topping awal di atas kue yang selalu identik dengan rasa manis seperti manisnya bulan madu dalam pernikahan?
Membaca penjabaran tersebut, mungkin ada yang mulai terganggu pemikirannya terkait indahnya dan pentingnya berpacaran. Saya tentu tidak melarang pembaca berpacaran. Sangat tidak! Saya bukan bapak kalian.
Tetapi, penjabaran itu hanya memungkinkan kita untuk bisa memaknai cinta yang siapa tahu sebenarnya itu masih sebatas suka. Rasa suka itu sebenarnya bisa awet, seawet hujan di Malang yang redanya lama banget.
Alasan dari keawetan rasa suka, salah satunya adalah faktor ketidaktahuan terhadap kelemahan seseorang. Atau, kalaupun tahu, kelemahan itu bisa saja dianggap tidak ada. Siapa sih yang suka dengan orang yang lemah?
Lalu, apakah orang yang menutup mata terhadap kelemahan orang yang disukai adalah bucin?
Mungkin demikian. Tetapi, levelnya juga perlu diukur dengan rentang waktu hubungan sejoli tersebut.
Ketika masih awal-awal, saya menganggap orang yang sedang bucin hanya tahu kelebihan orang yang ia sukai. Bahkan, juga tidak peduli dengan kelemahannya.