Sebagai rakyat biasa, penulis juga merasa perlu waspada walau kadang terkesan juga paranoid ketika mengetahui virus corona semakin merajalela di Indonesia. Bahkan, virus yang bernama lain covid-19 itu sebenarnya seperti bom waktu, alias tinggal menunggu waktu untuk menimpa Indonesia seperti negara lain.
Ini bukan sumpah maupun ungkapan pasrah, melainkan fakta. Karena, Indonesia adalah bagian dari negara modern yang pastinya terlibat dalam aktivitas global. Di sinilah celah yang dapat dimanfaatkan si virus yang awalnya mewabah di Wuhan, China tersebut.
Artinya, kita tidak bisa mengelak. Itulah mengapa, ketika masyarakat Indonesia maupun pihak pemerintah ada yang menyanggah keberadaan covid-19 yang terus bermutasi itu, secara pribadi, penulis jengah. Mengapa kita justru jemawa terhadap virus tersebut? Memangnya kita sudah yakin dapat menangkalnya?
Apakah kita sudah memiliki formula vaksin untuk mencegahnya?
Jawabannya jelas belum ada. Tapi, begitulah adanya sikap pada negeri ini.
Kita memang tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, karena itu bagian dari sikap alami manusia. Terkadang, ada yang merasa jago, terkadang ada yang penakut.
Intinya ada di sana, yang kemudian menjadi kompleks ketika kita berbicara tentang negara hingga profesionalisme. Kita hidup pasti akan merujuk pada aktivitas yang didasari keinginan untuk profesional---tapi tidak sok jago. Karena dengan begitu, kita dapat memperoleh imbalan atau hasilnya.
Tentu saja, kita akan membahas tentang pekerjaan. Karena, pada akhirnya kehidupan kita pasti diwarnai oleh pekerjaan. Tanpa pekerjaan, orangtua kita akan kesulitan mengasuh kita hingga tumbuh dan berkembang. Tanpa pekerjaan, kita juga akan sulit mengembangkan kehidupan keluarga kita hingga tentunya bersumbangsih besar terhadap negara---membayar pajak.
Bagaimana nasib negara ini jika masyarakatnya tidak bekerja dan tidak sanggup membayar pajak?
Pertanyaan ini tentu akhirnya menjadi polemik besar ketika pandemi covid-19 melanda Bumi. Meski secara pribadi, penulis belum dapat memastikan apakah semua negara di planet ini terkena covid-19, namun virus ini dapat diprediksi telah menjadi musuh bersama manusia dewasa ini.
Di saat kita sudah sepakat bahwa covid-19 adalah musuh bersama, maka artinya ini juga menjadi permasalahan bagi para pekerja. Siapa saja?
Di sini penulis tidak akan menyajikan semua jenis pekerjaan dan status pekerja yang masih tetap menunaikan tanggungjawabnya saat covid-19 merajalela. Tujuannya, agar bagi pembaca maupun penulis lain dapat juga mengulas bidang pekerjaan lain yang sesuai dengan kedekatannya masing-masing.
Pertama, adalah karyawan minimarket. Sebagai orang merantau, penulis masih sangat bergantung dengan barang-barang ataupun bahan pangan yang dijual di minimarket. Penulis tentu tidak bisa memprediksi bagaimana jadinya jika semua minimarket tutup.
Itulah mengapa, penulis angkat topi kepada para karyawan minimarket yang masih setia melayani para konsumen yang tentunya tidak diprediksi apakah mereka membawa bibit virus tersebut atau tidak. Penulis pun yakin bahwa mereka sudah dibekali hal-hal yang dapat mencegah tubuhnya terkena virus meskipun setiap hari harus berinteraksi dengan pembeli.
Kedua, tidak jauh-jauh dari karyawan minimarket, yaitu penjual makanan di warung dan penjual kebutuhan rumah tangga di toko kelontong. Berhubung keduanya hampir 11-12, maka penulis menjadikan satu saja dua profesi tersebut.
Sama halnya dengan karyawan minimarket, profesi mereka cukup rentan terhadap covid-19. Karena, mereka dipastikan tetap harus berinteraksi dengan banyak orang walau mereka tak mampu memprediksi apakah ada pelanggan yang mulai terkena dampak corona atau tidak.
Kegigihan mereka selain untuk mempertahankan siklus ekonomi, juga diprediksi telah berupaya untuk membantu orang lain yang tentunya masih memerlukan aneka kebutuhan pangan dan rumah tangga tersebut. Di sinilah penulis merasa salut kepada mereka dan juga tidak dapat berspekulasi seandainya mereka semua menutup usahanya meski untuk sementara---14 hari.
Berat!!
Ketiga atau yang terakhir adalah jurnalis. Penulis tidak mampu berandai-andai jika dunia ini menjalani 336 jam atau lebih tanpa berita aktual. Apakah kita akan mampu bertahan hidup tanpa melihat apa-apa?
Benar! Penulis menganggap berita seperti mata dan kacamata. Seandainya kita tak memiliki mata, tentu kita kesulitan untuk berjalan, apalagi mengenali mana teman dan mana orang asing. Artinya, tanpa berita, kita akan kesulitan mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam kehidupan kita.
Sama halnya dengan kacamata yang membantu mata kita untuk lebih awas dan tentunya dapat (sedikit) terlihat mampu untuk melihat apa saja seperti orang lain yang tak berkacamata. Artinya, berita juga menuntun kita untuk memilih dan memilah mana kabar yang tepat nan akurat, yang akhirnya dapat menuntun kita untuk bersikap ketika terjadi hal-hal yang tak baik seperti keberadaan covid-19.
Penulis tidak sanggup memprediksi siklus kehidupan ini tanpa adanya berita yang dihasilkan oleh para jurnalis. Terlepas dari bagaimana cara para jurnalis bekerja, penulis yakin bahwa mereka pasti tetap memerlukan interaksi.
Bahkan, meski mereka bekerja hanya di rumah dan pekerjaannya sudah mobile remoted---dikontrol jarak jauh, tetap saja mereka butuh pesan makanan jika mereka tidak masak sendiri. Artinya, interaksi pasti tetap ada dalam kehidupan para jurnalis termasuk sebenarnya pada diri kita masing-masing.
Di saat kita lapar, menjadi orang indekos, dan tidak masak sendiri, pasti kita akan perlu keluar ke warung sebelah atau ke toko kelontong untuk beli makanan-minuman dan lainnya. Termasuk ketika kita pesan antar, tetap saja kita perlu bertemu dengan driver-nya dan meski driver-nya sehat atau gagal diinfeksi oleh corona, segala sentuhan dan interaksi diantara kita dengan orang lain bisa menjadi celah virus berbahaya itu untuk berpindah-pindah.
Namun, ketika melihat orang-orang di tiga profesi di atas---termasuk driver ojol---penulis merasa perlu berterimakasih banyak kepada mereka. Karena, tanpa kegigihan mereka untuk menjalankan tugasnya, tentu masyarakat seperti penulis akan semakin sengsara.
Bagaimana bisa survive, jika kebutuhan pokok kita dewasa ini---makan, minum, dan membaca berita---tak terpenuhi dengan baik?
Malang, 18 Maret 2020
Deddy Husein S.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI