Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Persebaya Pantas Juara, namun Piala Gubernur Jatim 2020 Perlu Dikritik

20 Februari 2020   22:17 Diperbarui: 21 Februari 2020   08:00 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perayaan juara Piala Gubernur Jatim 2020 (20/2) yang dimenangkan oleh Persebaya atas Persija dengan skor 4-1. Sumber gambar: Kompas.com/Suci Rahayu

Apakah kita ingin meniru rivalitas Interisti, Milanisti, Romanisti, dan Juventini? Untuk apa? Apakah juga ingin meniru rivalitas berdasarkan El Clasico?

Tentu sangat tidak masuk akal. Karena El Clasico penuh faktor yang melandasi gengsi antara Real Madrid dan Barcelona. Baik secara faktor teknis (urusan prestasi sepak bola) dan non-teknis (pemerintahan), keduanya memang pantas saling bergesekan. Sedangkan kita?

Lihat saja gubernur DKI Jakarta bergoyang Tik Tok bersama gubernur Jateng dan Jabar di panggung Mata Najwa. Artinya, di negara kita tidak ada rivalitas sepak bola yang didasari dari sektor non-teknis. Apalagi prestasi.


Semua klub di Indonesia nyaris sama rata. Bahkan, jika benar adanya praktik "bagi-bagi kue" di kompetisi Indonesia, maka buat apa membentuk rivalitas?

Ataukah karena faktor tensi permainan di atas lapangan?

Hal ini juga seharusnya tidak perlu dijadikan alasan. Karena, mereka yang berjibaku di atas lapangan biasanya hanya "berperang" selama 90 menit. Jikalau mereka tetap bersentimentil, biarkan mereka yang menyelesaikan permasalahan itu, bukan kita.

Di luar negeri pun, para pemain yang di atas lapangan saling mencederai, pada akhirnya juga saling meminta maaf dan memaafkan di luar lapangan. Jadi untuk apa kita juga terbawa sentimentil yang sepenuhnya tidak "melukai" kita?

Apakah kemudian rivalitas itu juga karena ingin "meneruskan" sejarah masa lalu? Buat apa? Bukankah para pendukung masa kini lahir bersama kemajuan teknologi dan intelijensi yang berbeda dengan generasi masa lalu?

Seharusnya dengan realitas itu, kita memiliki pemikiran yang berbeda. Terlepas dari faktor status sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya, kita seharusnya sudah saling memahami bahwa sepak bola adalah milik semua orang. Kita berhak menonton pertandingan apapun, karena kita sama-sama menyukai sepak bola tersebut.

Generasi saat ini harus berani melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh generasi sebelumnya. Bahkan, jika ditarik mundur jauh ke belakang, generasi di masa lalu tidak terdapat praktik kerusuhan suporter seperti sekarang. Karena, mereka saat itu berpikir bahwa sepak bola salah satu media yang menyatukan Indonesia, bukan sebaliknya.

Mengapa hal ini justru tidak terjadi di masa sekarang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun