Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sebuah Gagasan untuk Menekan Kenaikan Jumlah Pengemis di Bulan Ramadan

14 Mei 2019   20:41 Diperbarui: 14 Mei 2019   20:50 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengemis dan pemberi sedekah. (Fimela.com)

"Sungguh ironis, jika Ramadan menjadi berkah bagi pengemis."


Tidak ada yang tahu persis, alasan orang untuk menjadi pengemis daripada bekerja serabutan yang penting ada upah untuk makan sehari-hari. Menurut selentingan kabar, mereka yang mengemis, karena seringkali ditolak untuk bekerja. Ada pula yang menyatakan kalau mereka yang mengemis, karena tak punya keahlian. Namun, ada pula yang menarik untuk diketahui, yaitu sebuah pernyataan jika mereka yang mengemis karena tidak mendapatkan kepercayaan lagi di berbagai bidang pekerjaan. Artinya, mereka yang mengemis memiliki kemungkinan bahwa social trustment-nya sudah luntur.

Namun, apakah itu benar?

Di tulisan ini tidak akan menguak kebenaran dari keberadaan pengemis maupun motivasi mereka untuk mengemis. Betul! Mengemis juga butuh dorongan. Tanpa dorongan, mereka juga belum tentu akan mengemis. Sama halnya dengan menulis. Tanpa dorongan, orang-orang yang ada di Kompasiana juga belum tentu akan rajin menulis setiap hari.

Kembali lagi ke topik utama, yaitu mengemis.

Dewasa ini, mengemis dilakukan oleh orang-orang yang semakin tak jelas asal-usulnya namun terkadang memiliki latar belakang yang unik dan beragam jika masyarakat berhasil menguliknya lebih jauh. Termasuk bagi penulis yang sudah pasti juga pernah bertemu dengan pengemis-pengemis yang unik, baik saat berada di tempat asal maupun di sebuah kota besar Jawa Timur yang saat ini ditempati.

Jika, di tempat asal, penulis seringkali bertemu dengan pengemis-pengemis 'veteran'. Artinya, sejak kecil sampai sudah lulus SMA, penulis masih melihat pengemis tersebut 'bekerja'. Bahkan, ada pula sepasang pengemis tua yang terus mengemis sejak penulis belum lahir, sampai saat ini---kabarnya demikian.

Kini sudah ada Perda yang dipasang sebagai tanda area bebas pengemis dkk. (Daerah.sindonews.com)
Kini sudah ada Perda yang dipasang sebagai tanda area bebas pengemis dkk. (Daerah.sindonews.com)
Ada pula pengemis yang memang sengaja dijadikan sebagai pengemis, karena orang tersebut setiap hari diantar-jemput oleh seseorang yang kemungkinan adalah anak ataupun keluarganya. Pengemis itu juga masih berjaga di dekat lampu lalu-lintas sampai saat ini. Secara fisik memang terlihat bahwa orang itu sudah tidak lagi sanggup untuk bekerja normal. Namun, yang menjadi pertanyaan tak terjawab adalah mengapa harus menjadi pengemis dan mengapa pula orang terdekatnya membiarkan orang tersebut menjadi pengemis?


Beralih di kawasan kota tempat penulis saat ini berada, yaitu di Malang. Di beberapa tempat, termasuk di kawasan perguruan tinggi, sebenarnya sudah terdapat tanda larangan masuk bagi pengemis. Walau demikian, para pengemis tetap ada di depan gerbang perguruan tinggi tersebut.

Contoh pemasangan tanda area bebas pengemis dkk. (Breakingnews.co.id)
Contoh pemasangan tanda area bebas pengemis dkk. (Breakingnews.co.id)
Melalui perawakan dan muka melas, serta usia senja, mereka pun biasanya mampu mendapatkan recehan hingga lembaran 'pesangon' dari para mahasiswa yang berniat berbagi. Namun, inilah yang menjadi salah satu pendorong terkuat bagi para pengemis untuk masih berkeliaran dan bersikukuh menjadi pengemis. Yaitu, mendapat 'dukungan' dari masyarakat sekitarnya.


Hal ini yang sebenarnya menjadi dilematis bagi masyarakat.
Di satu sisi, masyarakat ingin berbagi, namun di satu sisi apa yang rutin dilakukan oleh masyarakat tersebut akan menjadi bentuk dukungan terhadap tindakan mengemis.

Bersedekah memang perbuatan yang mulia. Namun, sedekah yang berujung pada kebiasaan bagi mereka yang memilih sebagai peminta-minta abadi akan membuat mengemis adalah solusi terbaik bagi mereka untuk mendapatkan uang. Padahal, dengan tenaga yang mereka miliki untuk bergerak (berjalan dan terjaga dalam waktu lama) tentunya masih bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang lebih baik dan bermanfaat bagi sekitarnya. Dibandingkan sekadar mendoakan agar 'cepat lulus' sebagai timbal-balik kepada para mahasiswa yang memberi sedekah tersebut.

Uniknya lagi, perilaku mengemis bisa dilakukan oleh siapa saja yang bahkan sedari kecil sudah dibiasakan untuk mengemis. Hal ini dapat dijumpai sangat mudah ketika hari Jumat, lalu hari pertama Idul Fitri, hingga dapat dijumpai pula di stasiun maupun terminal.

Lambat-laun, perilaku mengemis dijadikan kebiasaan dan hal terburuknya adalah menjadi profesi. Mereka yang kemudian disebut pengemis berkedok fakir-miskin pada akhirnya menjadi orang-orang yang menyia-nyiakan banyak waktu dan tenaganya untuk mendapatkan uang dengan cara meminta bukan dengan cara menukarkan imbalan uang dengan jasa.

Meski, bagi mereka (mungkin) mengemis butuh perjuangan. Tapi, bagi masyarakat umum, mengemis adalah perbuatan sia-sia. Karena, mereka menjadikan kesengsaraan sebagai kesengajaan untuk mendapatkan keuntungan. Sehingga, apa yang menjadi nilai positif bagi masyarakat jika menjumpai para pengemis?

Benarkah bersedekah kepada para pengemis akan mendapatkan ganjaran yang baik?

Tentunya, kita tidak berpikir dulu tentang ganjaran surga ketika meninggal dunia nanti. Karena, yang terpenting saat ini adalah kita perlu melihat situasi dan kondisi di kehidupan nyata---di Bumi ini---khususnya di Indonesia. Jangan-jangan, bersedekah kepada pengemis hanya akan membuat orang-orang yang gampang menyerah dalam mencari uang akan banting setir sebagai pengemis dan hasilnya malah menjadi sumber kekayaan.

Hal ini akan semakin sulit dikontrol dengan keberadaan momen Ramadan yang disalahartinkan sebagai momen yang penuh berkah bagi para pengemis. Betul. Hal ini bisa dibuktikan dengan kenyataan bahwa jumlah orang-orang yang mengemis di jalanan maupun di tempat-tempat umum (yang penuh orang-orang), akan bertambah. Bahkan, hal ini juga bisa memunculkan pengemis musiman. Artinya, akan ada pula pengemis yang bergerilya di bulan Ramadan saja.

Ilustrasi pemberian sedekah kepada pengemis di area tempat ibadah. (Pikiranmerdeka.co)
Ilustrasi pemberian sedekah kepada pengemis di area tempat ibadah. (Pikiranmerdeka.co)
Bukan rahasia lagi jika bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan menjadi momen yang sangat indah untuk bersedekah. Namun, akan menjadi kurang menarik jika sedekah yang kita limpahkan ternyata tidak tersalurkan ke orang-orang yang seratus persen sangat membutuhkan bantuan instan kita tersebut. Jangan sampai pemberian sedekah di Ramadan ini bukannya meringankan beban hidup orang lain, melainkan melestarikan pekerjaan mengemis dari masa ke masa.

Secara pribadi, hal ini sangat disayangkan. Apalagi jika melihat orang-orang mengemis itu berpostur lebih segar dan gemuk dibandingkan orang-orang yang bekerja tak kenal waktu maupun para pemuda yang sedang kuliah. Akan menjadi suatu kekonyolan bagi kita saat melihat fenomena pengemis bisa naik mobil, sedangkan yang masih sanggup memberi sekeping-dua keping rupiah malah jalan kaki.

Sungguh ironis, bukan?
Namun, apa yang bisa kita lakukan? Apakah tidak ada saran ataupun solusi untuk mengurangi jumlah pengemis secara masif di Indonesia?

Secara pribadi, penulis mencoba mengeluarkan gagasan yang mungkin sudah ada ataupun belum terwujudkan. Yaitu, pihak pemerintah harus mengerahkan para tenaga ASN-nya di bidang sosial dan budaya untuk mengidentifikasi masyarakat kelas bawah yang memiliki peluang lebih besar untuk lari ke jurang pengemisan. 

Catat dan rekrutlah mereka sebagai anggota di sebuah balai kreativitas setempat. Balai tersebut bisa berpusat di kota/kabupaten maupun disebar ke setiap desa, kelurahan, maupun kecamatan. Di sana, mereka perlu dididik untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (lebih bagus jika bernilai ekonomis) dan sebagai timbal-baliknya, mereka diberikan tunjangan yang cukup.

Menciptakan industri kreatif yang menggaet masyarakat lapis bawah untuk menjadi tenaga kerja/pengrajinnya adalah sebuah cara yang perlu dicoba untuk minimalisir jumlah pengemis. (Nusantaranews.org)
Menciptakan industri kreatif yang menggaet masyarakat lapis bawah untuk menjadi tenaga kerja/pengrajinnya adalah sebuah cara yang perlu dicoba untuk minimalisir jumlah pengemis. (Nusantaranews.org)
Melalui cara ini, mungkin, pelan-pelan jumlah pengemis di Indonesia bisa berkurang secara bertahap. Memang, terdengar seperti membentuk panti rehabilitasi, namun, di sini kita tidak akan melihat mereka yang masuk di balai kreativitas ini sebagai 'pendosa' melainkan orang yang hendak tersesat, lalu diberikan arahan untuk mencapai titik cahaya yang benar.

Bagi penulis, ini adalah hal yang cukup bagus untuk dicoba. Alih-alih sekadar menangkap para pengemis, merehab sebentar, lalu dipulangkan dan tidak ditinjau-ulang kembali. Percuma. Karena, mereka akan kembali lagi ke lapangan dan akan lebih lihai lagi untuk menghindari upaya penangkapan/razia tersebut.

Jadi, apakah Ramadan masih bisa digunakan untuk bersedekah dengan ikhlas dan tepat sasaran?
Semoga saja demikian.

Malang, 14 Mei 2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun