Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tipisnya Jarak Antara Menebus Dosa dengan Bermuka Tebal

27 Februari 2019   16:07 Diperbarui: 27 Februari 2019   16:21 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah merupakan agenda besar yang dinantikan oleh publik Indonesia saat ini, yaitu, ketika akan menjalani masa praktik demokrasi di tahun 2019 ini. Masyarakat Indonesia tidak hanya dihadapkan pada agenda pemilihan pasangan calon presiden-wakil presiden (paslon capres-cawapres). Namun juga terdapat pemilihan partai dan anggota legislatif. Baik itu tingkat DPR, DPRD, maupun DPD.

Bahkan, di daerah-daerah ditemukan lebih banyak spanduk atau banner yang mempromosikan caleg daripada pasangan calon presiden-wakil presiden. Unik, namun ini memang perlu dilakukan.

Karena, jika ditelisik lebih lanjut dan secara jujur, bahwa publik lebih mengenal calon DPR RI dan (apalagi) paslon capres-wapresnya dibandingkan calon DPRD ataupun DPD di masing-masing daerahnya.

Sehingga, sangat perlu adanya upaya pengenalan yang cukup masif, agar masyarakat daerah juga tak hanya mengenali sosok-sosok calon pemimpin negara, namun juga sosok-sosok calon wakil rakyatnya di kursi parlemen.

Namun, bagaimana dengan fenomena eks-koruptor nyaleg?

Apalagi ketika diikuti berita terbarunya lebih lanjut, rupanya, KPU tetap meloloskan caleg eks-koruptor dan mereka tidak diberikan tanda apapun sebagai orang yang pernah terindikasi kasus korupsi. Hal ini menjadi sangat mengecewakan, apalagi jika kita pernah mengikuti program tv Mata Najwa yang membahas tentang bagaimana caranya supaya caleg eks-koruptor dapat diketahui oleh masyarakat luas.

Dari berbagai ide yang muncul termasuk dengan upaya memberikan tanda di lembar kertas pemilihan bahwa nantinya caleg yang merupakan eks-koruptor akan diberikan tanda khusus.

Hal ini sudah dibahas di Mata Najwa pada saat itu. Namun, ketika waktu sudah berlalu, kini kita bisa melihat bahwa KPU lebih mengedepankan sisi humanis dan diplomatisnya terhadap para caleg. Sehingga, yang terjadi adalah persamaan perlakuan antara caleg yang bersih dari tindak pidana korupsi dengan caleg yang sudah tersenggol kasus korupsi.

Lalu, bagaimana langkah publik/masyarakat menghadapi hal ini?

Pertama, kita tidak bisa menyalahkan ketidakberhasilan program tayangan Mata Najwa yang dikenal selalu mengangkat segala gejolak fenomena di Indonesia, termasuk kemampuan mereka (Najwa Shihab dkk) memberikan pengaruh kepada masyarakat. Apa yang terjadi saat ini di KPU dapat menunjukkan kepada kita untuk tidak bergantung pada sebuah program tayangan televisi dan berharap dapat mengubah kinerja pihak-pihak yang berkaitan dengan sistem kenegaraan.

Kita harus memaklumi ini dan memahami ini. walau begitu, kita tetap harus mengapresiasi para rekan media massa yang sudah berupaya maksimal untuk membuat segalanya berjalan seperti ekspektasi (bagi rakyat). Termasuk mengharapkan adanya ketegasan perlakuan dari KPU terhadap caleg eks-koruptor.

Kita di sini dapat melihat bahwa KPU dan segala pihak yang terkait, pasti mempunyai perhitungannya tersendiri dan ini mau tidak mau harus tetap didukung---keputusannya. Mungkin mereka memiliki beberapa alasan yang logis. Tinggal bagaimana masyarakat tetap bergerak secara gentle untuk bersuara melalui aksi pencoblosan 17 April 2019 nanti.

Kedua, seperti yang sudah disampaikan di paragraf sebelumnya, bahwa, dengan melihat keputusan KPU ini bukan berarti kita mulai menggalang aksi golput. Justru kita harus berani bergerak ke TPS untuk benar-benar melakukan aksi pencoblosan. Kita sebagai masyarakat punya hak dan kewajiban yang sama untuk merawat negara ini dengan aksi nyata. Bukan sekedar berkicau kritis namun golput.

Golput memang bukanlah aksi yang salah 100%, namun, jika kita golput itu akan mengurangi kesempatan kita untuk memerangi kengeyelan para caleg eks-koruptor. Toh, dicoblos atau tidak, mereka tetap ada di lembar kertas pemilu dan nantinya pasti ada yang menang, walaupun kita tidak nyoblos orang itu.

Sebenarnya, mengapa kita tetap harus menyoblos caleg? Karena, tanpa kita menyoblos, mereka yang mencalonkan diri tetap akan mendapatkan suara (dari orang lain). Karena, kesempatan terpilih di antara mereka (eks-kor dan non-kor) pasti sama-sama 50-50. Tidak ada yang jelas dominan. Beda dengan pemilihan paslon capres-cawapres yang lebih mudah dilihat perbedaannya. Sedangkan di kursi legislatif, peluang mereka sama. Mereka juga sama-sama merupakan calon abdi negara. Hanya dibedakan dengan label eks-koruptor dan tidak/belum korupsi saja.

Selanjutnya (ketiga), ketika kita sudah berani berniat memutuskan untuk memilih satu di antara mereka, maka langkah sebelumnya adalah melakukan persiapan. Apa persiapannya?

Yaitu mencari tahu caleg yang harus dipilih. Di website KPU juga sudah ada profil mereka, walau bisa diyakini bahwa informasi tersebut belum tentu lengkap dan transparan dalam memperkenalkan rekam jejak mereka termasuk skandalnya. Untuk itulah, kita tetap harus mencari tahu. Toh, informasi sekarang mudah diakses melalui internet. Namun, hati-hati dengan hoaks.

Lalu bagaimana jika dalam satu daerah semua calegnya memiliki label eks-koruptor?

Pilihlah dengan dua perhitungan yang berbeda. Pertama adalah memilih yang paling sedikit 'dosanya'. Kedua, pilihlah yang sudah punya pengalaman besar di bidang legislatif, termasuk besaran hasil korupsinya. Jika yang pertama, itu adalah pilihan paling logis.

Artinya, orang itu belum ahli korupsi, jadi, mungkin kalau mau korupsi lagi akan mudah tertangkap. Lagipula yang masih sedikit nominal korupsinya bisa memiliki kemungkinan untuk segera bertaubat. Lalu, bagaimana dengan pilihan kedua?

Semakin banyak dia pernah menggelapkan uang negara ataupun uang proyek, maka, peluang dia dipilih cukup bagus. Mengapa?

Melalui pengalaman caleg tersebut sebagai eks-koruptor, maka, akan sangat mudah untuk diendus segala tindakannya ketika sudah terpilih. KPK pun diyakini akan cukup mudah untuk mengawasi gelagatnya apakah sudah tobat atau malah makin menjadi-jadi, dan kemungkinan terbesarnya adalah kembali dibui. Jadi, secara tidak langsung, ketika memilih seorang eks-koruptor, sama dengan kita sedang menguji orang tersebut.

Di sinilah yang kemudian, kita bisa melihat, apakah mereka yang eks-koruptor tersebut akan menjadi anggota legislatif yang sedang berupaya menebus dosa dengan memperbaiki kinerjanya di kesempatan selanjutnya. Atau malah semakin meng-upgrade kemampuannya untuk lebih hebat lagi dalam berkorupsi.

Inilah yang kemudian kita bisa menyebut mereka yang eks-koruptor dan tetap nyaleg itu sebagai orang-orang yang berada di antara pintu taubat atau di 'tembok bercat tebal'.

Di sini tidak menilai mereka dengan sudut pandang agama. Namun, lebih ke arah humanitas dan profesionalitas dalam mengemban tugas sebagai anggota legislatif. Kita harus mengakui bahwa diri kita tidak bisa serta-merta menilai secara mentah-mentah bahwa eks-koruptor itu 'wong edan'. Hanya merujuk pada aksi senyum-senyum pasca ditangkap dan sudah didandani dengan pakaian oranye.

Tapi, kita bisa mencoba menilai mereka seperti seolah-olah anak kecil yang menyimpan uang kembalian dari membeli gula di toko kelontong.

Artinya, si anak itu ada dua kemungkinan. Antara peluang menjadi penipu kelas kakap di kemudian hari, atau malah menjadi orang yang baik dan selalu jujur di saat sudah besar.

Ada kemungkinan bertobat karena ketangkap basah menyimpan uang kembalian itu dan kemudian mendapatkan hukuman, pada akhirnya membuat si anak tobat. Atau memang memilih taubat dan memahami bahwa itu hanya bagian dari kenakalan masa kecil dan sudah disadari bahwa itu tidak boleh diulangi lagi ketika sudah dewasa. Namun, bagaimana jika dewasanya menjadi seorang penipu kelas kakap dan mampu mengorupsi uang dalam jumlah besar?

Kemungkinan paling besar adalah orang tersebut dulunya anak baik-baik yang belum pernah merasakan dosa. Jadi ketika tahu bahwa berbuat dosa itu lebih mudah dan menyenangkan, maka, kenapa tidak untuk dicoba dan dilakukan lagi dan lagi?

Melalui penilaian yang demikian, kita bisa tetap tenang dan bersikap dewasa dalam menghadapi para caleg eks-koruptor yang tetap berani mengajukan dirinya sebagai calon wakil rakyat itu. Kita harus yakin bahwa Indonesia adalah negara hukum. Maka, kita tidak perlu secara militan dan sok suci untuk menjauhi mereka ataupun mengumpat-umpat mereka.

Tetap perlakukan mereka seperti manusia biasa yang bedanya, dia memiliki kesempatan besar untuk korupsi lagi dan lebih banyak. Toh, di antara kita juga pasti pernah menyimpan uang kembalian hasil beli gula ataupun sabun cuci ketika disuruh ibu.
Jadi, mari berangkat ke TPS!

Malang, 27 Februari 2019
Deddy Husein S.

Nasional.kompas.com
Nasional.kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun