Mohon tunggu...
Deddy Febrianto Holo
Deddy Febrianto Holo Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Tana Humba

Nda Humba Lila Mohu Akama "Kami Bukan Sumba Yang Menuju Pada Kemusnahan".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bersama-sama Menyuarakan Seruan Hari Air

22 Maret 2018   16:19 Diperbarui: 22 Maret 2018   18:13 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.victorynews.id

Bagi kami masyarakat Sumba,air itu dianggap sebagai darahnya Sumba, bahkan sumber air pun dikeramatkan. Jika merujuk pada kamus besarBahasa Indonesia keramat bermakna  suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci).

Karena air adalah sumber kehidupan, terutama kami masyarakat Sumba Timur yang berpenghasilan utama dari sektor pertanian, meski hidup di daerah yang curah hujannya terbatas. Secara alamiah saja Sumba, terutama Sumba Timur pun mengalami persoalan kelola air, kekeringan di saat kemarau tetapi mendapat genangan di kala hujan. Sehingga tidaklah berlebihan jika  momentum Hari Air yang diperingati setiap tanggal  22 Maret, menjadi pengingat persolan yang dihadapi dalam tata kelola air. 

Sebagaimana saya ceritakan sebelumnya di Air adalah Darahnya Tanah Humba, Milik Umat Manusia, Bukan Korporasi

Walhi,dalam siaran Persnya pun menyoroti bahwa persoalan utama yang dirasakan dalam tata kelola air adalah besarnya kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan korporasi pada ekosistem air, baik rusaknya sumber ekosistem air pada wilayah hulu, maupun pencemaran pada sektor hilir. Ditambah lagi penguasaan besar-besaran sumber air oleh korporasi, baik untuk pengusahaan air maupun untuk aktivitas industrinya juga berdampak kelangkaan air untuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat atas air, utamanya perempuan.

Perempuan dinilai mampu  meng identi kasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tidak terpikirkan oleh laki-laki, seperti kebutuhan di bidang kesehatan, pendidikan, simpan pinjam, air bersih, atau jembatan penghubung ke desa lain. Selain itu, perempuan dinilai dapat bersikap lebih objektif dalam menentukan prioritas kebutuhan (The World Bank, 2009). 

Dalam perannya, perempuan, termasuk di Sumba dengan budaya patriarkhinya yang masih kental, memiliki beban untuk memastikan kebutuhan air keluarga dan rumah tangga terpenuhi, sehingga jika sumber air sampai  dirusak ataupun dimonopoli, perempuan yang harus berpikir dan bekerja lebih berat dalam upaya memenuhi kebutuhan air keluarga dan rumah tangga. Beban ini  akan  menjadi lebih berat lagi bagi kaum perempuan petani.

Privatisasi dan Monopoli Air oleh Korporasi Terus Berlanjut Mengancam Hak Rakyat atas Air

Berdasar Environmental Outlook WALHI, Apabila dibandingkan dengan luas wilayah daratan Indonesia, maka luas penggunaan wilayah yang secara legal dialokasikan untuk korporasi adalah 82,91%. Fakta tersebut menunjukkan besarnya kuasa korporasi, pada saat yang sama juga menimbulkan berbagai persoalan lingkungan hidup.

Hal ini pun terjadi di Sumba, dimana investasi perkebunan besar yang sedang banyak di bangun di Sumba pun telah berupaya melakukan perebutan sumber daya air di Sumba. Mereka seakan melupakan mengenai janji mereka untuk memanfaatkan air laut yang melimpah ruah di Sumba dengan pemanfaatan teknologi canggih . Ya... investor besar yang katanya akan membantu masyarakat Sumba keluar dari kemiskinan itu hanya kaum "halu", jika saya boleh menggunakan istilah kids zaman now.

Meski  Putusan Mahkamah Konstitusi 85/PUU-XI/2013 telah  membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, yang telah menegaskan jika pengusahaan air di dalam UU SDA melanggar hak rakyat atas air yang dilindungi oleh UUD 1945, serta  menegaskan prinsip pembatasan pengusahaan air. 

Namun, pasca putusan MK tersebut, Pemerintah justru merespon dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang melindungi investor dan mengingkari semangat mengembalikan norma pengelolaan air sesuai amanat konstitusi dan putusan MK. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun