Menghadirkan Malioboro di Padang: Revitalisasi Pasar Raya dan Jalan Permindo sebagai Ikon Baru Kota
Oleh: Deddi Ajir (Alumni UIN Imam Bonjol Padang)
Kunjungan Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir, ke Yogyakarta pada 17 Oktober 2025, bukan hanya perjalanan seremonial biasa, melainkan sebuah langkah strategis yang mencerminkan niat serius Pemerintah Kota Padang untuk mengangkat wajah kotanya ke panggung pariwisata nasional. Dengan menjadikan Malioboro di Yogyakarta sebagai model inspiratif, Pemko Padang berharap dapat merevitalisasi kawasan Pasar Raya dan Jalan Permindo menjadi ikon kota baru yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga berdaya saing dari sisi budaya dan estetika perkotaan.
Yogyakarta, sebagaimana kita tahu, sukses menjadikan Malioboro sebagai ruang publik ikonik yang menghidupkan perekonomian lokal, memperkuat identitas budaya, dan menciptakan pengalaman yang mendalam bagi para pengunjung. Keberhasilan ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena penataan kawasan tersebut mempertimbangkan banyak aspek desain kota, penciptaan ruang bermakna, hingga penyajian pengalaman wisata yang unik. Dan hal inilah yang ingin diadopsi secara adaptif oleh Kota Padang.
Urban Design Theory: Menciptakan Kota yang Ramah, Terbuka, dan Terstruktur
Dalam teori desain perkotaan (Urban Design Theory), kota ideal bukan hanya terdiri dari bangunan-bangunan megah, melainkan juga ditandai oleh keterpaduan ruang-ruang publik yang terencana dengan baik. Jalan Permindo dan Pasar Raya memiliki peluang besar untuk disulap menjadi zona pedestrian yang ramah, inklusif, dan menarik. Tata ruang yang terfokus pada pejalan kaki, penataan kios secara simetris dan estetis, penggunaan material lokal yang mencerminkan identitas Minangkabau, serta pencahayaan yang artistik di malam hari adalah bagian dari elemen desain kota yang dapat menghidupkan kawasan ini.
Konsep desain ini harus mempertimbangkan aliran sirkulasi orang, aksesibilitas, kenyamanan, serta fungsi ruang terbuka. Jalan Permindo, jika ditata seperti Malioboro---dengan jalur pedestrian lebar, bangku publik, area pertunjukan seni, serta ruang kuliner terbuka---dapat menjadi magnet baru yang menarik warga dan wisatawan untuk berinteraksi di ruang kota.
Theory of Place Making: Mengubah Ruang Menjadi Tempat yang Bermakna
Tidak cukup hanya mempercantik tampilan fisik, revitalisasi kawasan Pasar Raya dan Permindo juga harus menjawab kebutuhan akan sense of place---yakni keterikatan emosional dan sosial masyarakat terhadap ruang tersebut. Inilah yang dijelaskan dalam Theory of Place Making. Sebuah tempat tidak otomatis terbentuk hanya karena adanya infrastruktur; ia harus "diciptakan" melalui proses partisipatif, menyeluruh, dan kontekstual.
Place making menggarisbawahi pentingnya melibatkan warga, pelaku usaha lokal, seniman, hingga komunitas dalam proses perancangan ruang. Misalnya, pelibatan seniman Minang dalam merancang mural budaya di dinding bangunan, penyediaan ruang pertunjukan silek dan tari tradisional, serta kios kuliner yang menjajakan makanan khas Padang dalam tata kelola yang rapi dan menarik.