Mohon tunggu...
Dessy Fatmawati
Dessy Fatmawati Mohon Tunggu... Tentor Kimia -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kritis di Tengah Hipokrisi Demokrasi

13 Juli 2018   14:17 Diperbarui: 13 Juli 2018   14:33 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penguasa dan kritik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kritik (KBBI) sendiri adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Sedangkan dalam Wikipedia Indonesia, kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi atau membantu memperbaiki pekerjaan.

Adanya kritik dan sikap kritis dari suatu elemen pada dasarnya adalah mekanisme alami dalam sebuah proses. Semakin rumit dan kompleks semakin membutuhkan kritik, kontrol dan evaluasi untuk menjaga  eksistensi proses. Ini juga berlaku bagi proses penguasa menjalankan pemerintahannya.

Apalagi sistem pemerintahan demokrasi tegak dari salah satu pilar kebebasan, yakni kebebasan berpendapat. Secara teotitis demokrasi memberi ruang yang hampir tidak terbatas pada ruang kritik. Anehnya yang terjadi sebaliknya, sejarah justru membuktikan betapa hipokritnya demokrasi akan kritik. Kritik hanya bisa tetap jalan selama tidak mengusik kepentingan pemegang kekuasaan sesungguhnya, para kapitalis.

Cacatnya demokrasi ternyata telah diprediksi oleh cendekiawan pengusung demokrasi di negeri asalnya. Charles Bukowski menyatakan, "The different between a democracy and a dictatorship is that in a democracy you vote first and take orders later. In a dictatorship you don't have to waste your time voting". Augusto Pinochet juga menyatakan, "Sometimes democracy must be bathed in blood"

Sesungguhnya, ajaran Islam, yang selalu dianggap 'radikal' dalam iklim demokrasi, justru menawarkan konsep 'kritik' dan peran penguasa dengan lebih baik. Islam memiliki point of view yang unik dalam memandang kritik. Jika demokrasi tegak diatas pilar kebebasan berpendapat namun hipokrit ketika menghadapi kritik anti penguasa, Islam tegak atas wahyu dimana ruang kritik diapresiasi tanpa harus tunduk pada penguasa.

Kisah duo Umar di masa kejayaan Islam bisa kita jadikan contoh gambaran sikap penguasa dalam menghadapi kritik. Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan Umar bin Khattab pernah bertutur kepada sahabatnya, "Aku sedang dihinggapi ketakutan jika sekiranya aku melakukan kemungkaran lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku karena segan dan rasa hormat kepadaku."

Kisah serupa terjadi pada Umar bin Abdul Aziz.  "Wahai amirul mu'minin, apakah gerangan yang mendorong Anda untuk membaringkan diri di siang hari ini?" tutur putranya. "Aku letih dan butuh istirahat sejenak." "Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak yang teraniaya?", tambah Sang putra. "Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai zhuhur aku akan kembalikan hak-hak orang yang teraniaya." "Wahai amirul mu'minin. Siapakah yang dapat menjamin Anda hidup sampai zhuhur jika Allah mentakdirkan mati sekarang?" "Segala puji bagi Allah yang telah mengkaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama ini."

Islam memandang menjadi pemimpin adalah ujian yang berat. Sebab penguasa rawan untuk bertindak dhalim demi memuluskan kepentingan yang senantiasa menggelayut. Bagi penguasa yang tidak mengikatkan diri pada hukum Islam erat-erat, potensi kesewenang-wenangan sangatlah besar. Hal ini akan mengubah penguasa sebagai rain dan junnah bagi ummat menjadi raja yang dhalim. Pentingnya kritik pun ditegaskan oleh Rasulluah SAW, sehingga apresiasi gelar yang diberikan adalah penghulu syuhada'

"Pemimpin para syuhada' adalah Hamzah bin Abdil Mutallib dan seseorang yang berdiri di hadapan seorang imam yang dhalim lalu orang itu memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, lalu Imam itu membunuhnya" ( HR. Tirmidzi dan Al Hakim)

Demokrasi berbasis kepentingan manusia, dan kritik dipandang sebagai perongrong kepentingan. Sikap hipokrit yang dibawa demokrasi sesungguhnya adalah sifat bawaan, maka menghilangkan hipokrisi demokrasi adalah hal yang mustahil. Berbeda dengan Islam yang berbasis tuntunan wahyu, kritik adalah bagian dari penjagaan pelaksanaan wahyu. Islam memberi ruang yang cukup demi penjagaan pelaksanaan wahyu, bukan demi kepentingan (segolongan) manusia. Itulah mengapa, amar ma'ruf nahy mungkar adalah kewajiban, termasuk pada penguasa dan segala kebijakannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun