Mohon tunggu...
Decky Novandri
Decky Novandri Mohon Tunggu... Penulis - Belajar Menulis.

- Pria Sederhana, yang ingin belajar dan berkembang. - Master of Public Administration Alumni. National University, Jakarta Indonesia. - IDP_LP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

JHT 56 Tahun, Telah Menimbulkan Pro dan Kontra yang Sangat Panas, Bak Minyak Goreng yang Sedang Dipanaskan

17 Februari 2022   08:58 Diperbarui: 1 Oktober 2023   21:54 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar Ilustrasi : Kompasiana.com)

Baru-baru ini Kementerian Ketenagakerjaan (KEMNAKER) telah menetapkan jenis Peraturan perundang-undangan, berupa Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran dan Manfaat Jaminan Hari Tua, yang populer dengan singkatan JHT, Perubahan periode pencairan JHT tersebut juga dibarengi dengan program lain dari BPJS Ketenagakerjaan. diantaranya Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), akses lowongan kerja, serta pelatihan kerja.  

Alih-alih Pemerintah ingin memberikan pelayanan kepada setiap Warga Negara Indonesia, dalam hal ini khususnya bagi Pekerja dengan skema manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat Peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. konon kabarnya akan diberlakukan secara resmi pada tanggal 04 Mei tahun ini.

(Gambar Ilustrasi : Kemnaker RI)               
            googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-411');});
(Gambar Ilustrasi : Kemnaker RI) googletag.cmd.push(function() { googletag.display('div-gpt-ad-712092287234656005-411');});

Belumlah sempat diimplementasikan (dilaksanakan), kebijakan itu baru saja ditetapkan, sudah dikeroyok oleh warganet, warganet Ramai-ramai mengomentari mengenai kebijakan JHT, ditambah lagi keroyokan dari sejumlah kelompok yang telah mengeluarkan petisi untuk membatalkan kebijakan JHT yang kurang lebih sudah ditandatangi 150.000 orang.

Warganet di sosial media dan kelompok orang-orang yang mengeluarkan petisi yang dimaksud tentulah memiliki beragam latar belakang profesi, misalnya saja : sebagai karyawan perusahaan, guru, dosen, mungkin saja ada yang berprofesinya sebagai politisi, dan pemberi kerja.

Jujur saja, jika saya merujuk dua pertanyaan dari warganet. Pertama, bagaimana jika peserta JHT tidak berumur panjang hingga 56 tahun? Kedua, bagaimana dengan pekerja yang memang akan pensiun dini? Jika hanya itu permasalahnya tentulah saya sangat mengapresiasi kebijakan tersebut dapat diimplementasikan.

Di dalam Permenaker tersebut memang tidak terdapat normatif, yang secara spesifik menjelaskan terkait pertanyaan warganet, namun secara normatif terdapat di Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. pada Pasal 26 Ayat 3. 

Bagi peserta JHT yang mengundurkan diri sebelum memasuki masa usia pensiun (56 tahun tersebut) atau pensiun dini, Jelas Negara telah memberikan perlindungan kepada pekerja, yang esensi dari pasal tersebut mengatakan. bahwasanya, dapat dibayarkan kepada peserta setelah mencapai usia 56 tahun/meninggal dunia/cacat total tetap.
Untuk lebih spesipiknya jika berbicara Hak-hak Tenaga Kerja, khususnya mengenai pensiun dini Pekerja, tentulah rujukanya tidak terlepas dari UU nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Kemudian bagi Peserta yang meninggal dunia sebelum usia 56 tahun, tetap dibayarkan kepada ahli waris. Hal ini juga telah diatur di dalam PP 46 Tahun 2015 yang telah saya sebutkan di atas, lebih tepatnya pada Pasal 26 Ayat 5, ditambah lagi esensi dari pasal 1. menyebutkan, manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta, memasuki usia pensiun, meninggal dunia, dan cacat total tetap.

PP tersebut di atas juga telah mengatur Tentang Tata Cara Pembayaran Iuran JHT, di Pasal 18 hingga Pasal 22. untuk Peserta penerima upah yang bekerja pada Pemberi Kerja (Pengusaha/di perusahaan) dan Peserta bukan penerima upah.

Bagi  Peserta penerima upah yang bekerja pada Perusahaan pembayaran iuranya wajib dibayarkan oleh Pemberi Kerja setiap tanggal 15, sebesar 5.7% dari upah dengan ketentuan 2% ditanggung oleh Pekerja (dari upah sebulan yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. 3.7% ditanggung oleh Pemberi Kerja (besar juga ya pengeluaran operasional pengusaha?) dan jika Pemberi Kerja terlambat membayarkan iuaran JHT tersebut akan dikenakan denda 2% untuk setiap bulan keterlambatan, tentulah dendanya ditanggung oleh Pemberi Kerja.


Seyogyanya, sebelum bertanya terlebih dahulu membaca, karna semua Peraturan perundang-undangan dan jenisnya, sudah pasti memiliki dasar hukum (dengan kalimat, Menimbang : bahwa peraturan ketenagakerjaan, dan seterusnya) Dasar hukum tersebutlah yang dijadikan acuan atau bahan untuk mengetahui normatif yang tidak ada dalam jenis peraturan perundang-undangan yang dibawahnya.

(Gambar Ilustrasi : Kemnaker RI) 
(Gambar Ilustrasi : Kemnaker RI) 


Saya tertarik memiliki perbedaan pendapat dengan seseorang yang mengatakan bahwa aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang sudah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi" menurut hemat saya : aturan tersebut bukan turunan dari UU Cipta Kerja, melainkan pengejawantahan (perwujudan) dari UUD 1945 Pasal 28H Ayat (1, 2 dan 3) Pasal 34 Ayat (1, dan 2).

Kemudian diwujudkan di UU nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJNS), Dengan Peraturan Pelaksananya dalam wujud PP nomor 46 Tahun 2015 diturunkan lagi ke Permenaker Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran dan Manfaat Jaminan Hari Tua.


Bagaimana bisa disebut turunan dari UU Cipta Kerja, lah wong UU Cipta Kerja saja masih dalam tahap perbaikan, jika dalam waktu 2 tahun tidak dilakukan perbaikan maka secara otomatis inskonstitusional bersyarat secara parlemen. Itu artinya tidak dapat dirujuk sebagai dasar hukum.

Saya lebih berharap, Agar kiranya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Serikat-serikat Pekerja yang ada, sangatlah perlu memperhatikan dan mengkritiki, kinerja pejabat pembinaan dan pengawasan dan Kepala Seksi (KASI) norma di tingkat Provinsi, terkait dengan konsistensi semua normatif yang sudah menjadi Hak-hak Pekerja.

Apalagi DPR RI, khususnya Komisi IX yang merupakan Ruang Lingkup dan Tugas dari komisi ini, sudah Jelas-jelas memiliki fungsi pengawasan, sesuai amanat dari UUD 1945 pasal 20A Ayat 1, itu artinya fungsi yang tidak dapat ditawar lagi, bukan? 


Keberhasilan suatu kebijakan publik, akan ditentukan oleh Implementatornya (Pelaksana, pejabat administrator) bukan pada pembuat keputusan/pembuat kebijakan.

Contohnya saja, Jika secara normatif Pekerja mendapatkan uang pergantian hak atas pengabdianya, namun pada realitanya hak itu tidak didapatkan oleh Pekerja, itu artinya : yang salah bukan pada pembuat kebijakan, namun kesalahan semacam itu terletak pada lemahnya fungsi pembinaan dan pengawasan Pejabat terkait, pada akhirnya merugikan para Pekerja.

(Gambar Ilustrasi : Doc Pribadi)
(Gambar Ilustrasi : Doc Pribadi)

(Gambar Ilustrasi : Doc Pribadi)
(Gambar Ilustrasi : Doc Pribadi)

Lebih lanjut jika Merujuk data dari Pusdatik Kemnaker RI per bulan Juli Tahun 2021 menyebutkan bahwasanya Jumlah kasus klaim JHT paling banyak pada Juli tahun 2021 untuk segmen Penerima Upah (PU) terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 185.200 kasus, Di Ikuti Jawa Timur 167.162 kasus, DKI Jakarta 144.919 kasus, Jawa Tengah 139.065 kasus, kemudian Sumatera Utara dengan angka 76.195 kasus.
Sementara itu pada segmen Bukan Penerima Upah (BPU) Jumlah kasus klaim JHT paling banyak masih terdapat di Provinsi Jawa Barat sebesar 1.052 kasus, Banten dengan 1.014 kasus, DKI Jakarta 919 kasua, Jawa Timur 843 kasus, Jawa Tengah 429 kasus. Kepesertaan JHT PU aktif terbanyak yaitu DKI Jakarta dengan jumlah 4.292.236, Jawa Barat 2.409.749. Jawa Timur 1.655.654, Jawa Tengah 1.624.072, Banten 1.123.119 Peserta.


Fakta-fakta empiris yang ada di atas tersebut kemudian dijadikan salah satu sumber data yang dirujuk oleh pelaku kebijakan khusunya di Kemnaker RI untuk dikaji dan dianalisa agar dapat mencapai tujuan kebijakan yang efektif serta dapat menyelesaikan masalah publik secara efisien. Karna pada esensinya kebijakan publik merupakan hasil dari kesepakatan antar aktor dan Aktor-aktor politik untuk melaksanakan Program-program kemudian dijalankan oleh Birokrasi serta diikuti oleh Masyarakat demi tercapainya tujuan yang efektif dan menyelesaikan masalah publik secara efisien, namun sebelum menjadi suatu kebijakan maka informasi yang dikumpulkan merupakan informasi yang kredibel terkait permasalahan yang ada. Akan tetapi sudah Seyogyanya di NKRI ini setiap kebijakan publik menjadikan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan berpikir dan dapat pula dijadikan sebagai landasan untuk bertindak.

Saran saya untuk Pekerja Penerima Upah yang menginginkan pensiun dini, tentulah harus dipikirkan secara matang sebelum mengambil keputusan terkait. bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan hidup saat tidak bekerja lagi? Apakah kita sudah memiliki kamampuan untuk mencukupi kebutuhan hidup tanpa bekerja di usia tersebut? misalnya dalam bentuk tabungan untuk dijadikan modal usaha. Beda halnya jika pada usia tersebut kita tidak dapat bekerja lagi, karna cacat total tetap, misalnya.

Lucu memang, jika ada pekerja yang ingin pensiun di bawah usia 40 Tahun, namun belum memiliki tabungan/modal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

"Mau ngapain kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun