Mohon tunggu...
Deassy M Destiani
Deassy M Destiani Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, Penulis, Pebisnis Rumahan

Seorang Ibu dua anak yang suka berbagi cerita lewat tulisan..

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Anak Sekolah Bukan untuk Diusir

23 Agustus 2016   14:13 Diperbarui: 23 Agustus 2016   15:22 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya ingin minta waktu Anda sejenak, bayangkan diri Anda adalah seorang anak kelas 3 SD.  Anak yang sedang senang belajar, bereksplorasi dan berteman dengan sebaya.  Anda menyukai sekolah Anda, namun suatu hari Anda diminta dengan tidak hormat untuk keluar dari sekolah  karena dianggap sebagai trouble maker.  

Anda dituduh sering membuat kegaduhan di kelas, berkelahi dengan teman,mengeluarkan kata-kata kotor yaang Anda sendiri tidak menyadari artinya karena Anda betul-betul tidak tahu.  Anda hanya ikut-ikutan teman lainnya. Namun karena Anda adalah anak yang satu-satunya berbadan paling besar,  jika memukul pasti paling keras,  maka Anda-lahsatu-satunya anak yang dikeluarkan dari sekolah. 

Padahal Anda melakukan itu karena dipancing anak lain yang mengejek Anda. Semua mata tertuju hanya pada Anda seorang. Tidak ada lagi sisi kebaikandari diri Anda. Anda di cap sebagai anak nakal,  kasar, perusak, tidak sopan, serta semua label negatif lainnya. Akhirnya  hinggap pada kesimpulan bahwa sekolah tidak sanggup lagi mendidik Anda. 

 Salah satu orangtua murid yang yang anaknya Anda pukul, melaporkan Anda pada Kepala Sekolah.  Wali murid itu mengancam akan memperkarakan  Anda kepolisi jika sekolah tidak mengeluarkan Anda.  Wali murid itu merasa Anda membahayakan anaknya. Maka Ibu Anda dipanggil Kepala Sekolah. Di ruangan Kepala Sekolah,  Ibu Anda hanya bisa menangis dalam luka tak tertahan, sekolah meminta Ibu Anda membawa Anda keluar dari sekolah yang Anda cintai itu secepatnya. 

 Sebagai anak kelas 3 SD yang baru berumur 9 tahun apakah Anda paham apa yang terjadi? Yang Anda tahu Anda tidak boleh lagi sekolah disitu karena semua guru,  kepala sekolah serta teman-teman membenci Anda. Padahal tidak semua. Masih banyak anak yang peduli pada Anda. Ada anak yang tahu bahwa Anda adalah anak yang baik. 

Ada guru yang memahami ilmu mendidik anak,  menganggap bahwa itu adalah sebuah kenakalan biasa.  Ibu Anda sudah bawa Anda ke psikolog, hasil tes mengatakan bahwa usia mental Anda setara dengan anak umur 7 tahun. Padahal umur kronologis Anda 9 tahun. Anda tidak suk matematika, tapi Anda suka puisi, suka menggambar dan Anda selalu suka pelajaran IPA. 

Anda mengalami gangguan fokus dan konsentrasi dibanding teman sekelas Anda, tapi Anda mendapat ranking ke 14 diantara 22 anak satu kelas. Artinya Anda masih bisa mengikuti semua pelajaran di sekolah itu dengan baik.  Kekurangan Anda adalah Anda terkadang tidak bisa mengontrol emosi saat ada anak lain memancing Anda untuk berbuat anarki.   

Ibu Anda pulang dari sekolah hanya bisa menangis. Sakit hati anaknya tidak boleh bersekolah lagi. Padahal Ibu Anda adalah Ibu yang luar biasa. Beliau rela menjaga Anda di sekolah agar Anda tidak menyakiti anak lainnya karena gangguan emosi Anda. Namun itupun malah diusir oleh kepala sekolah. Katanya anak tidak boleh ditunggu, nanti anak lain iri mau ditungguin juga. Haloww... padahal Ibu Anda disitu ada untuk membantu Kepala Sekolah agar Anda tidak mengganggu anak lainnya jika terpancing emosi. Karena satu-satunya orangyang paling memahami Anda adalah Ibu Anda. Ibu hebat yang rela mengorbankan segalanya demi anak satu-satunya.  

Namun apa boleh buat, Ibu Anda tidak punya pilihan. Sekolah memang tidak memberi pilihan. Anda hanya diminta meninggalkan bangku sekolah, Anda di usir dari sekolah yang Anda banggakan itu.  Tibalah waktunya Anda mengucapkan kata-kata perpisahan pada teman sekelas Anda. Di depan kelas Anda bilang begini,

“Teman-teman, maafkan saya jika saya selama ini melakukan kesalahan dan menyakiti kalian. Mulai hariini saya tidak akan ada di kelas ini lagi. Jadi teman-teman tidak usah takut saya sakiti lagi”.   

Tahukah reaksi teman-teman Anda? Semua histeris menanggapi kepergian Anda. Semua merasa kehilangan Anda.Semua menangis, kecuali anak yang sering bertengkar dan memancing Anda saja yang tidak menanggapi. Itu pun jumlahnya hanya 4 sampai 5 orang saja diantara 22 anak. Semua berebut memeluk Anda. Tidak ada yang ingin Anda keluar dari kelas itu. Namun apa boleh buat,jika ada pilihan tentunya Anda juga ingin sekolah disitu. Anda sedang semanga tbelajar, bahkan setiap hari Anda bertanya pada Ibu harus belajar apa untuk esok sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun