China baru saja melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pencemar terbesar di dunia ini kini menetapkan target numerik absolut untuk mengurangi emisi. Dan waktunya bukanlah kebetulan. Tepat ketika Amerika Serikat menggandakan penggunaan bahan bakar fosil, sementara Eropa tertinggal dalam target pengurangannya, Beijing justru memberi isyarat arah berbeda.
Isyarat itu diberi pada KTT iklim di New York tanggal 24 September 2025. Saat KTT yang mempertemukan pemimpin dari 120 negara untuk membahas masa depan umat manusia itu berlangsung, sebuah pesan mengejutkan muncul di layar. Bukan dari Washington atau Brussels, melainkan dari Beijing.
Wajah presiden Tiongkok, Xi Jinping, muncul di layar dan mengumumkan target emisi absolut pertama negaranya yaitu janji untuk mengurangi produksi karbon sebesar 7 hingga 10 persen pada tahun 2035. Ia juga menegaskan bahwa porsi bahan bakar nonfosil dalam total konsumsi energi akan ditingkatkan hingga  lebih dari 30 persen dalam 10 tahun ke depan. Untuk pertama kalinya, penghasil emisi terbesar dunia berbicara dengan angka yang jelas.
Bagi sebagian pengamat, target tersebut mungkin terdengar sederhana. Namun, China memiliki catatan unik: seringkali memberikan hasil yang lebih besar dari janji awal, didukung oleh industri surya dan angin yang berkembang pesat, produksi mobil listrik, serta program reboisasi berskala besar.
Xi Jinping menyampaikan dengan tegas:
"Respons terhadap iklim adalah tugas mendesak. Dunia harus bertindak sebelum terlambat."
Menurutnya, target ini merupakan upaya terbaik China sesuai komitmen Perjanjian Paris. Ia menambahkan, pemenuhan janji tersebut memerlukan kerja keras dalam negeri dan dukungan lingkungan internasional yang terbuka.
Pernyataan ini terasa semakin signifikan karena sehari sebelumnya, Presiden AS Donald Trump justru meremehkan isu perubahan iklim sebagai "pekerjaan konyol terbesar di dunia" sambil menjanjikan peningkatan produksi bahan bakar fosil. Kontrasnya begitu tajam.
China saat ini menyumbang hampir 30 persen emisi global. Emisi negara itu diproyeksikan mencapai puncaknya pada akhir tahun ini. Hingga kini, janji iklim Beijing terbatas pada target nol emisi bersih di tahun 2060. Pengumuman kuantitatif baru ini menandai langkah penting.
Namun, apakah itu cukup? Para ahli menilai langkah ini memang menunjukkan kemajuan, tetapi kecepatannya belum memadai untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 1,5C dari level pra-industri. Padahal, ambang batas tersebut krusial untuk menghindari bencana iklim yang lebih parah.
Bencana iklim sudah terjadi di berbagai belahan dunia: banjir di India dan Pakistan, kebakaran hutan di Spanyol dan Portugal, serta gelombang panas memecahkan rekor dari Afrika hingga Eropa. Saat ini, suhu global telah naik sekitar 1,4C dari era pra-industri. PBB memperingatkan dunia berada di ambang kehancuran jika gagal menahan pemanasan di bawah 1,5C.
Meski begitu, masih ada alasan untuk berharap. Sejak ditandatanganinya Perjanjian Paris satu dekade lalu, proyeksi kenaikan suhu global berhasil ditekan: dari semula 4C kini mendekati 3C. Masih berbahaya, namun tetap menunjukkan adanya kemajuan.
Sayangnya, jalan ke depan tetap penuh tantangan. Banyak negara maju masih tertinggal dalam pemangkasan emisi. Uni Eropa terhambat oleh ketakutan industri dan kekacauan politik. Prancis, misalnya, di bawah Emmanuel Macron menghentikan sementara langkah pengurangan emisi yang lebih dalam dengan alasan ketidakpastian ekonomi.
Dalam lanskap yang tidak merata ini, target baru China mungkin terlihat hati-hati. Namun, langkah tersebut menandakan kesinambungan, terutama ketika Amerika Serikat justru menjauh dari Perjanjian Paris.
Bagi para pengamat, pesan dari Beijing ini menjadi pengingat penting: perjuangan melawan pemanasan global adalah tanggung jawab kolektif, bukan kisah satu negara semata.
Sekarang merupakan saat kritis bagi ilkim dunia. Sangatlah penting bagi para pemimpin untuk mengambil tindakan nyata.
Ilmuan iklim, Dr. Katharine Hayhoe mengingatkan pada KTT tersebut bahwa sekarang adalah saatnya di mana para pemimpin perlu berani dan tegas. Beliau juga mengingatkan bahwa "setiap pemanasan yang kita hindering sangatlah penting".
Hayhoe mengatakan bahwa "saat ini, sesuai dengan faktor alam, planet ini (bumi) seharusnya perlahan-lahan menjadi lebih dingin. Sebaliknya (yang terjadi), pemanasan lebih cepat, dan lebih cepat."
Jadi jika ilmu pengetahuan sejelas itu dan telah berlangsung selama beberapa dekade, mengapa para pemimpin belum memperbaikinya?
Ilmu pengetahuan menuntut tindakan, hukum menuntutnya, ekonomi memaksanya, dan masyarakat menyerukannya.
Saya kira, yang terpenting sekarang adalah bukan tentang apakah para pemimpin mengerti dan percaya sains atau tidak karena kita semua telah menyaksikan bahkan merasakan perubahan iklim yang sangat nyata belakangan ini.Â
Jadi saya percaya bahwa yang terpenting sekarang adalah tentang komitmen dan aksi apa yang ingin para pemimpin ini tunjukan melalui keputusan mereka. Karena jika mereka tidak memutuskan, masyarakat akan berhenti percaya pada para pemimpinnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI