Ketidakpercayaan itu lahir dari akumulasi peristiwa: kasus korupsi yang tak kunjung tuntas, tebang pilih hukum, hingga kekerasan aparat yang terus berulang. Bukan hanya soal temperamen pejabat, melainkan cerminan pola relasi kuasa yang timpang.
Demokrasi kita retak ketika rakyat yang bersuara justru digebuki, sementara penguasa sibuk menjaga citra dan kekuasaan. Sekarang sudah saatnya reformasi moral dan kelembagaan.
Model represif tidak akan pernah bertahan lama. Di era keterbukaan informasi, publik semakin kritis, semakin sulit dikendalikan dengan narasi tunggal.
Karena itu, ada beberapa hal mendesak:
1. Rotasi kekuasaan yang sehat. Jabatan jangan dijadikan "kursi keluarga" atau alat abadi untuk berkuasa. Batas periode seharusnya ditegakkan lebih ketat agar tidak muncul arogansi kekuasaan.
2. Distribusi kekuasaan yang plural. Jangan hanya berbasis patron-klien, melainkan memberi ruang partisipasi rakyat dalam keputusan politik.
3. Reformasi kelembagaan. Â Bukan sekadar hukum di atas kertas, tapi juga penanaman norma moral pada aparat negara.
4. Keadilan substantif. Bukan hanya soal kepatuhan pada penguasa, melainkan kesejahteraan nyata yang bisa dirasakan rakyat.
Negara bukanlah mesin represif. Melainkan lahir dari kontrak sosial, untuk melindungi, bukan menindas. Jika Leviathan terus menyimpang, maka kepercayaan publik akan terkikis habis.
Pada akhirnya, keadilan bukan sekadar jargon politik. Ia adalah fondasi keberlangsungan negara. Tanpa keadilan, penguasa mungkin masih punya kekuatan, tapi akan kehilangan legitimasi. Dan ketika legitimasi itu hilang, rakyat punya hak untuk berkata "cukup sudah."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI