Insiden penabrakan seorang pengemudi ojek online (ojol) oleh kendaraan taktis Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat (28/8/2025), bukan sekadar berita kriminal atau kecelakaan biasa. Peristiwa ini menorehkan luka kolektif, menegaskan lagi jurang yang semakin lebar antara penguasa dengan rakyat kecil.
Mobil baja yang mestinya melindungi, justru melaju cepat merenggut nyawa. Bukankah seharusnya kendaraan itu berhati-hati, apalagi di tengah kerumunan masyarakat sipil? Jika alasannya karena ada ancaman, rasanya sulit diterima nalar---sebab pengemudi ojol tidak membawa senjata, melainkan hanya harapan hidup untuk menafkahi keluarganya.
Di titik ini, publik melihat ironi yang nyata: negara yang mestinya menjadi pelindung justru tampil sebagai penggilas.
Rasa kecewa publik makin dalam ketika suara rakyat yang menuntut keadilan justru dibalas dengan pernyataan arogan dari sebagian anggota dewan. Alih-alih berempati, mereka menyalahkan masyarakat, bahkan menyindir bahwa orang Indonesia "suka melihat orang susah dan tidak suka melihat orang senang."
Ucapan ini menyakitkan. Sebab, setiap hari rakyat kecil harus mempertaruhkan waktu, tenaga, bahkan nyawa hanya untuk membawa pulang sepiring nasi ke atas meja. Kontras dengan gaji, tunjangan, dan fasilitas wakil rakyat yang nyaris tak tersentuh risiko.
Ketidakadilan bukan hanya soal angka. Ia adalah luka psikologis. Rasa dipermainkan oleh elit yang hidup dalam menara gading.
Thomas Hobbes pernah menulis dalam Leviathan (1651), bahwa negara lahir dari kontrak sosial dimana rakyat menyerahkan sebagian kebebasannya untuk mendapatkan perlindungan. Namun di Jakarta kemarin, Leviathan tampil bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai monster yang menindas.
Negara modern mestinya menjamin hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan rakyat---seperti ditegaskan John Locke dan Rousseau. Jika negara gagal, rakyat punya hak untuk menarik mandatnya. Inilah yang sering dilupakan penguasa.
Max Weber menyebut negara bisa berubah menjadi "sangkar besi" birokrasi. C. Wright Mills menggambarkannya sebagai kuasa elit yang sibuk menjaga privilese. Di Indonesia, kita melihat keduanya berjalan beriringan: aparat menjadi alat represi, sementara politisi menjadi aktor yang merawat sistem patronase.
Bahkan, pemikir muslim klasik seperti Al-Mawardi menegaskan, kekuasaan hanya bertahan jika dijalankan dengan adil. Ibn Khaldun pun memberi peringatan: arogansi dan penindasan akan meruntuhkan solidaritas antara rakyat dan penguasa.
Survei awal 2025 menunjukkan hampir 30% masyarakat tidak percaya pada DPR dan Polri. Angka ini berpotensi turun lebih jauh, apalagi dengan insiden seperti di Pejompongan.
Ketidakpercayaan itu lahir dari akumulasi peristiwa: kasus korupsi yang tak kunjung tuntas, tebang pilih hukum, hingga kekerasan aparat yang terus berulang. Bukan hanya soal temperamen pejabat, melainkan cerminan pola relasi kuasa yang timpang.
Demokrasi kita retak ketika rakyat yang bersuara justru digebuki, sementara penguasa sibuk menjaga citra dan kekuasaan. Sekarang sudah saatnya reformasi moral dan kelembagaan.
Model represif tidak akan pernah bertahan lama. Di era keterbukaan informasi, publik semakin kritis, semakin sulit dikendalikan dengan narasi tunggal.
Karena itu, ada beberapa hal mendesak:
1. Rotasi kekuasaan yang sehat. Jabatan jangan dijadikan "kursi keluarga" atau alat abadi untuk berkuasa. Batas periode seharusnya ditegakkan lebih ketat agar tidak muncul arogansi kekuasaan.
2. Distribusi kekuasaan yang plural. Jangan hanya berbasis patron-klien, melainkan memberi ruang partisipasi rakyat dalam keputusan politik.
3. Reformasi kelembagaan. Â Bukan sekadar hukum di atas kertas, tapi juga penanaman norma moral pada aparat negara.
4. Keadilan substantif. Bukan hanya soal kepatuhan pada penguasa, melainkan kesejahteraan nyata yang bisa dirasakan rakyat.
Negara bukanlah mesin represif. Melainkan lahir dari kontrak sosial, untuk melindungi, bukan menindas. Jika Leviathan terus menyimpang, maka kepercayaan publik akan terkikis habis.
Pada akhirnya, keadilan bukan sekadar jargon politik. Ia adalah fondasi keberlangsungan negara. Tanpa keadilan, penguasa mungkin masih punya kekuatan, tapi akan kehilangan legitimasi. Dan ketika legitimasi itu hilang, rakyat punya hak untuk berkata "cukup sudah."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI