2. Tidak terbentuk kerangka berpikir.
Sekadar tahu satu fakta tidak sama dengan memiliki pemahaman utuh. Otak butuh jaringan informasi yang saling terhubung, bukan potongan lepas. Jika hanya mencari sekali klik, kita hanya dapat "selembar kertas." Tapi jika belajar mendalam, kita membangun "lemari arsip" di kepala.
3. Tidak belajar dari kesalahan.
Otak paling cepat belajar saat prediksinya salah. Misalnya kita mengira hasil hitungan 7 8 adalah 54, lalu menyadari jawabannya 56. Dari kesalahan itu, otak memperkuat pemahaman. Tapi jika sejak awal semua langsung dijawab mesin, otak tidak punya kesempatan untuk salah---dan akhirnya tidak belajar.
Ada orang yang optimis, katanya ini bukan penurunan kecerdasan, melainkan perubahan bentuk kecerdasan baru. Semacam kolaborasi manusia dengan mesin.
Tapi optimisme ini bisa menipu. Tanpa dasar pengetahuan yang kuat, kolaborasi dengan AI hanya menjadikan kita operator pasif. Kita memberi perintah, mesin memberi jawaban, lalu kita terima begitu saja. Kita tidak tahu apakah jawaban itu tepat, masuk akal, atau justru salah.
Ambil contoh di dunia kerja. Seorang mahasiswa yang terbiasa menyalin kode dari generator AI mungkin terlihat "mahir." Tapi ketika sistem error di bagian yang tidak terduga, ia kebingungan. Tanpa pemahaman dasar, ia tidak tahu harus mulai memperbaiki dari mana.
Artinya, AI bisa jadi alat bantu yang luar biasa, tapi juga bisa menjadi tongkat penopang yang membuat otot otak kita semakin lemah.
Cara Menjaga Ketajaman Otak
Apakah artinya kita harus kembali ke masa sebelum internet? Tentu saja tidak. Dunia sudah berubah, dan teknologi tidak bisa dipisahkan dari hidup kita. Yang perlu kita lakukan adalah menggunakannya dengan cara yang benar.
Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita lakukan:
1. Bangun pengetahuan, bukan sekadar menemukannya.