Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bendera Topi Jerami dan Krisis Representasi Indonesia

17 Agustus 2025   21:25 Diperbarui: 17 Agustus 2025   21:25 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dibuat menggunakan ChatGPT)

Di jalanan kota besar Indonesia hingga lorong-lorong digital TikTok dan X, berkibar sebuah bendera yang tak pernah disebut dalam UUD 1945: bendera Bajak Laut Topi Jerami dari anime Jepang, One Piece. Simbol yang awalnya sekadar lelucon komunitas penggemar itu kini berubah menjadi medium ekspresi sosial, mewakili kekecewaan yang tak lagi bisa dijelaskan lewat bahasa formal negara.

Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus, banyak anak muda memilih mengibarkan bendera Topi Jerami alih-alih Merah Putih. Ini bukan sekadar fanbase yang merayakan karya fiksi, melainkan sebuah pesan politik bahwa "kami tidak merasa diwakili."

Fenomena ini bisa dipahami lewat data. Menurut survei YouGov 2022, Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat konsumsi anime tertinggi di dunia. Lebih dari 60% pengguna internet berusia 18--34 tahun menonton anime secara rutin, dengan One Piece, Attack on Titan, dan Naruto sebagai tiga besar tontonan favorit. Pop Culture Survey Southeast Asia 2023 bahkan mencatat 74% responden Indonesia mengakses konten Jepang---entah anime, manga, atau J-Pop---setidaknya seminggu sekali.

Kondisi ini berbeda dengan Korea Selatan. Meski konsumsi anime di sana juga tinggi, pemerintahnya justru mengembangkan industri animasi lokal sambil mengawasi ketat konten asing. Komisi Komunikasi Korsel pernah memblokir ribuan situs manga ilegal dan menyensor judul-judul yang dinilai "anti-otoritarian." Indonesia, sebaliknya, membiarkan budaya populer tumbuh organik. Hasilnya, anime tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana ekspresi sosial-politik.

Dalam narasi One Piece, publik menemukan simbol alternatif tentang keadilan, loyalitas, dan kepemimpinan. Monkey D. Luffy bukanlah sosok penguasa, melainkan seorang pembebas yang melawan tirani demi teman-temannya. Bandingkan dengan elite politik Indonesia yang kerap dipersepsikan sarat korupsi, nepotisme, dan manipulasi etika.

Ketika bendera Topi Jerami berkibar, itu bukan sekadar perayaan episode terbaru, melainkan kritik sosial yang dibungkus imajinasi. Negara boleh menyepelekannya, bahkan mengancam kriminalisasi, tapi kenyataannya simbol itu adalah alarm bahwa bahasa politik formal tak lagi dimengerti generasi muda.

Bagi mereka, bangsa ini sudah lebih mirip milik pemodal, dinasti, dan politisi yang hanya hadir saat kampanye. Sementara itu, simbol fiksi menjadi ruang pelarian sekaligus media komunikasi. Fenomena serupa juga muncul di tempat lain. Demonstran Hong Kong menggunakan simbol Attack on Titan untuk melawan kontrol Beijing, sementara di Amerika Serikat karakter Joker menjadi lambang perlawanan terhadap ketimpangan sosial.

Studi Asian Journal of Communication (2021) menyebut anime sebagai social imagination, sarana bagi masyarakat untuk mengekspresikan harapan dan ketakutan akan masa depan. Dengan kata lain, fiksi menawarkan bahasa yang lebih jujur daripada retorika negara.

Apakah ini berbahaya? Justru sebaliknya. Negara yang bijak seharusnya tidak melarang simbol, melainkan mendengar suara di baliknya. Jika rakyat merasa Luffy lebih layak dipercaya daripada DPR, itu bukan masalah moral masyarakat, melainkan krisis representasi politik.

Statista 2024 mencatat Indonesia sebagai pasar anime terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Filipina, dengan nilai ekonomi US$ 130 juta. Ini menunjukkan anime telah menjadi bagian integral dari budaya populer, hadir di TikTok, YouTube, hingga marketplace dalam bentuk merchandise dan fan art. Maka wajar jika bahasa budaya populer akhirnya dipakai untuk menyampaikan aspirasi politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun