Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Resesi Global di Depan Mata, UNCTAD Saran agar Pemerintah Ambil Kebijakan yang Lebih Pragmatis

5 Oktober 2022   20:46 Diperbarui: 10 Oktober 2022   05:25 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrasi (Shutterstock/Gguy via KOMPAS)

Pada hari Senin (3/9/2022), Konferensi PBB tentang perdagangan dan pembangunan merilis laporan baru mengenai ekonomi global. Laporan itu berjudul "Development Prospect in a Fracture World" (Prospek Pembangunan di Dunia yang Retak". Isi laporannya cukup panjang jadi saya simpulkan saja hal-hal penting yang menjadi sorotan judul ini.

Pertama, dunia menuju resesi dan stagnasi berkepanjangan. Dua, krisis yang membayangi bisa lebih parah daripada  resesi 2008. Tiga krisis ini adalah hasil dari kebijakan yang buruk dan political will yang salah tempat. Empat, beban resesi akan sangat terasa di negara-negara berkembang terutama di Amerika Latin dan Afrika.

Laporan itu juga memberikan beberapa data. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan turun menjadi 2,5% pada tahun 2022, dan 2,2% pada tahun 2023. Perlambatan tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan global sekitar 17 triliun dolar.

Berikutnya adalah krisis utang. Enam puluh persen dari semua negara berpenghasilan rendah dalam kesulitan utang. Ditambah 30% dari negara-negara Pasar Berkembang (Emerging Market Countries) tidak punya uang untuk membayar utang. Negara-negara Pasar Berkembang antara lain Brazil, Russia, India, Indonesia, Iran, Korea Selatan, Meksiko, Saudi Arabia, Taiwan and Turkey. Jadi jika keadaan tambah buruk, akan muncul lebih banyak negara seperti Sri Lanka.

Berita buruknya lagi, mata uang 90 negara berkembang telah melemah terhadap dolar, yang berarti Impor mereka lebih mahal. Negara-negara ini akan menghabiskan lebih banyak dolar untuk membeli makanan, bahan bakar dan komoditas lainnya.

Karena PBB menyebut bahwa krisis ini diakibatkan oleh kebijakan dan political will yang salah dari pemerintah, apakah ada cara "yang benar" untuk menghadapi tantangan ekonomi sekarang? atau apakah kita masih bisa menghindari resesi ini?

Sekjen UNCTAD Rebeca Grynspan percaya jika masih mungkin untuk menghindari resesi. Saya menangkap tiga hal yang disarankan Grynspan. Pertama mari kita lihat apa yang dikatakan beliau, "hanya berfokus pada pendekatan kebijakan moneter tanpa menangani masalah sisi penawaran dalam krisis perdagangan, energi, dan pasar makanan hingga biaya hidup mungkin memang memperburuk masalah."

Jadi, Sekjen PBB menyarankan kebijakan yang lebih pragmatis seperti pajak tak terduga (windfall taxes). Perusahaan multinasional biasanya menggunakan krisis ini untuk meningkatkan keuntungan mereka sendiri. Karena harga komoditas yang melambung tinggi pada situasi seperti ini. Contoh terbaiknya adalah Perusahaan minyak. Jadi PBB ingin pemerintah mengenakan pajak atas keuntungan ekstra ini sehingga negara bisa menghasilkan devisa ekstra yang sangat dibutuhkan dalam situasi ini.

Saran kedua dari Grynspan adalah meredam spekulasi. Harga makanan dan bahan bakar yang bergejolak tahun lalu telah menyebabkan hiruk-pikuk spekulasi dalam kontrak berjangka dan pertukaran komoditas (commodity swap).

Biasa orang memasuki pasar untuk membeli komoditas untuk  langsung dikonsumsi diritel. Tapi di masa-masa ini biasa muncul mafia yang mencari keuntungan dalam kesempitan. Mereka menimbun komoditas berdasarkan spekulasi yang beredar lalu menjual kembali komoditas tersebut setelah harganya naik. Akibatnya kekuatan permintaan dan penawaran melemah yang mengakibatkan pasar menjadi semakin tidak stabil. Jadi PBB ingin pemerintah menjinakkan hal tersebut.

Saran ketiga, menciptakan lapangan pekerjaan. Saya tahu ini mungkin terdengar aneh karena biasanya jika pemerintah terlalu cepat menurunkan inflasi angka pengangguran akan meningkat. Artinya jika pemerintah gegabah terlalu cepat meningkatkan lapangan pekerjaan, inflasi jadi tak terkendali. Tetapi dalam hal ini, PBB meminta pengeluaran cerdas seperti energi hijau atau infrastruktur tahan iklim. Langkah ini tidak hanya akan berkontribusi pada aspek green economy tetapi juga akan menciptakan pekerjaan yang sangat dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun