Mohon tunggu...
Davina Nuaimah
Davina Nuaimah Mohon Tunggu... Mahasiswa PGMI UIN Ponorogo 2024

memeluk hidup apa adanya tertawa bersama suka, berdamai dengan duka.Setiap cerita, entah manis atau pahit, adalah warna yang melengkapi kanvas perjalanan. Dengan hati yang lapang, menjadikan pengalaman sebagai pelajaran, dan syukur sebagai jalan untuk terus melangkah ringan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

" Ketika Ambisi perempuan dianggap Arogan"

12 Oktober 2025   09:46 Diperbarui: 12 Oktober 2025   09:46 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di lingkungan pendidikan, ambisi seharusnya menjadi sesuatu yang positif --- tanda bahwa seseorang memiliki motivasi untuk berkembang dan berprestasi. Namun, kenyataannya, tidak semua bentuk ambisi diterima dengan cara yang sama. Ketika siswa laki-laki berani tampil dan menunjukkan ambisi, mereka disebut kompetitif. Tapi ketika hal yang sama dilakukan oleh siswi perempuan, mereka sering dicap "terlalu dominan" atau bahkan "arogan".

Fenomena ini menunjukkan bagaimana bias sosial masih hidup dalam dunia pendidikan. Sejak kecil, banyak perempuan dididik untuk bersikap lembut, tidak menonjol, dan menghindari konflik. Akibatnya, ketika mereka menunjukkan semangat yang kuat, perilaku itu dianggap melampaui batas "ideal" yang telah ditetapkan budaya.

Padahal, dari perspektif psikologi pendidikan, ambisi merupakan bagian penting dari motivasi berprestasi. Teori Need for Achievement (nAch) oleh David McClelland (1961) menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kebutuhan untuk mencapai keberhasilan dan merasa kompeten. Dalam konteks sekolah atau kampus, kebutuhan ini mendorong siswa untuk belajar lebih giat, aktif berorganisasi, dan berani mengambil tantangan.

Namun, ketika lingkungan belajar tidak mendukung, terutama bagi perempuan, motivasi itu bisa terhambat. Menurut teori Social Learning dari Albert Bandura, perilaku dan keyakinan seseorang terbentuk melalui pengamatan terhadap lingkungan. Jika perempuan melihat bahwa teman atau senior perempuan yang ambisius sering dikritik, mereka akan belajar untuk menahan diri --- bukan karena tidak mampu, tapi karena takut dihakimi.

Hal inilah yang disebut para psikolog sebagai self-limiting belief, yaitu keyakinan bahwa seseorang tidak boleh menonjol agar diterima oleh lingkungan. Akibatnya, banyak siswi cerdas yang memilih diam di kelas, menolak posisi kepemimpinan, atau tidak berani menunjukkan potensi terbaiknya.

Dampak jangka panjangnya tidak kecil. Dalam dunia pendidikan, siswa perempuan yang terus-menerus ditekan agar "tidak terlalu berambisi" cenderung mengalami achievement anxiety --- rasa takut gagal atau takut dinilai negatif saat berprestasi. Ini dapat menurunkan rasa percaya diri dan menghambat perkembangan akademik maupun sosial mereka.

Oleh karena itu, sekolah dan perguruan tinggi memiliki peran besar dalam membentuk lingkungan yang sehat dan setara. Guru, dosen, dan pembimbing perlu memberikan penguatan positif terhadap semua bentuk ambisi --- tanpa membedakan gender. Ketika siswi perempuan tampil aktif, itu bukan sikap arogan, melainkan bentuk aktualisasi diri.

Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang membebaskan, bukan membatasi. Ambisi adalah bagian dari proses belajar untuk menjadi lebih baik. Maka, jika seorang perempuan ingin memimpin, berprestasi, dan bersuara, biarkan itu menjadi hal yang wajar --- karena itulah inti dari pendidikan: menumbuhkan potensi, bukan mengurungnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun