Mohon tunggu...
David Tampubolon
David Tampubolon Mohon Tunggu... -

Pembaca, Penulis, Pengamat, Pelaku News and Media analyst on criminal issue

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengkaji Halal-Haram dari Perspektif non-Agamis

3 Maret 2014   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga beberapa waktu lalu, saya sangat tidak berminat memperhatikan polemik halal-haram. Saya meyakini secara sempit bahwa itu adalah urusan kaum Muslim di negeri ini. Saya yang kristen tidak mau ambil pusing. Saya pikir haram itu terkait dengan kandungan babi pada makanan, jadi untuk apa saya pusing karena sekalipun mengandung babi, justru malah enak. Tapi pembahasan di media massa beberapa waktu ini "menggelitik" kesadaran saya untuk ambil posisi dalam pembicaraan halal-haram ini. Apalagi wacana ini sudah memasuki arena hukum nasional, dengan kata lain sudah berani menyebrangi syariah. Dalam anggapan saya selama ini polemik halal-haram ini sepenuhnya merupakan monopoli ulama yang berlandaskan hukum Allah yang tidak bisa diganggu gugat.

Pandangan ini saya luncurkan setelah adanya wacana yang saya anggap undangan bagi Sarjana Hukum sekuler dalam menanggapi polemik ini. Undangan ini saya baca dari pandangan Din Syamsudin yang menjabat Ketua Muhammadiyah, dalam pandangan beliau minuman kemasan sebagai produk haram. Saya pikir dulu halal-haram ini sudah ditentukan di dalam kitab suci maupun hadits, apa yang halal dan apa yang haram. Ternyata wacana yang dibuka Din Syamsudin membuka kesadaran saya kalau, ternyata halal dan haram menyangkut cara pengadaan suatu produk dan bertalian dengan undang-undang nasional maupun Undang-Undang Dasar. Misalnya saja Din menyatakan, "sebagai bentuk konkrit imbas negatif komersialisasi air tersebut adalah banyaknya air kemasan berbagai merek. Sebab, air merupakan pangkal penciptaan dan sumber kehidupan. "Air kemasan tidak boleh diserahkan ke swasta apalagi swasta asing. Air itu seharusnya dikuasai negara," ungkap Din. (Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/sebut-haram-din-syamsuddin-masih-minum-air-mineral-kemasan.html). Ketika sudah menjelajahi hubungan bernegara dan pengelolaan sumber daya alam, artinya wacana halal-haram ini sudah siap untuk dilontarkan sebagai wacana nasional dan melepaskan diri dari argumentasi dogma agama yang biasanya berakhir di "lakum diinukum wa liya diin". Sudah bermain ke konstitusi dengan ungkapan judicial review, artinya wacana ini siap digarap masyarakat Indonesia apa pun agamanya, karena konstitusi dan hukum adalah milik semua warga negara Indonesia apa pun agamanya.

Memang betul bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan lembaga atau Ormas itu tidak mengikat secara hukum. Akan tetapi, sepertinya Din, ingin menguatkan fatwa sebagai landasan bagi suatu judicial review. Ini sudah benar-benar mengekspansi daya ikat fatwa, karena saya sejak belajar di fakultas hukum, fatwa itu hanya sebagai suatu rekomendasi dan tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap hukum nasional. Saya sebagai Sarjana Hukum sekaligus warga negara Indonesia sangat tergelitik soal ini.

Ketika ukuran hukum syariah dipakai untuk mengukur hukum nasional secara vis-a-vis maka wajar jika syariah diukur pada hukum nasional, barangkali hal ini bisa disebut sebagai bentuk asas resiprositas. Bagi kami para Sarjana Hukum sekuler, halal-haram ini sebanding dengan perbuatan apa yang diancamkan hukuman (kejahatan) dan perbuatan apa yang diperbolehkan. Korupsi bagi Sarjana Hukum sekuler tentulah haram, menerima suap tentulah haram. Kami pun menerima adanya kejahatan yang ditentukan melalui kriminalisasi undang-undang (mala prohibita) atau bisa juga secara alamiah perbuatan tersebut dianggap jahat (mala per se).

Jadi ketika diberlakukan resiprositas maka fatwa-fatwa yang diterbitkan untuk menentukan halal dan haram suatu produk harus mengacu pada hukum nasional. Secara tegas MUI seharusnya mengevaluasi apakah suatu produk memiliki indikasi kejahatan. Produk halal adalah produk yang dihasilkan dengan tidak mengandung kejahatan di dalamnya, seperti misalnya suap pada waktu mengurus perizinan, atau praktik pencucian uang dalam permodalan usaha, atau bahkan suap pada saat pengurusan sertifikasi halal. Ini adalah upaya untuk melindungi masyarakat dari konsumsi barang haram secara komprehensif. Hal ini bisa teratasi dengan kerja sama MUI sebagai ormas dengan unsur criminal justice system (sistem peradilan pidana seperti polisi, kejaksaan dan pengadilan)  sebagai pihak yang berwenang menentukan apakah telah terjadi kejahatan. Percuma saja tidak makan daging babi, tapi makan produk hasil kong kali kong kejahatan!

Kemudian, agak menarik dengan pernyataan  Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim bahwa "Pemberian transportasi dan akomodasi, bukanlah gratifikasi, katanya. “Semuanya sukarela. Tidak ada namanya gratifikasi, karena MUI bukan lembaga negara,” katanya (Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/02/26/46869/mui-tidak-ada-gratifikasi-mui-bukan-lembaga-negara/#axzz2uoBLBWee). gratifikasi, pemberian, suap, itu pun saat ini perlu dihadapkan secara vis-a-vis dengan hukum nasional. Sekalipun bukan lembaga negara, tetapi setiap manusia dilengkapi dengan moralitas, jadi bukan hanya soal kejahatan yang ada di UU semata. Apalagi fatwa-fatwa ini berpotensi menentukan nasib banyak industri, seperti halnya edaran SMS mengenai restoran yang belum disertifikasi halal oleh MUI, bisa saja SMS itu tidak disebarkan oleh MUI atau oknumnya, namun isu sertifikasi halal ini meletakkan persepsi halal-haram secara luas di masyarakat. Apa jadinya kalau sertifikasi halal ini menjadi suatu ajang transaksi. Atau memang MUI menantikan transaksi dari hal ini, atau mungkin Din menanti gayung bersambut dari Danone sebagai perusahaan air minum kemasan, semoga tidak.

Gratifikasi di luar lembaga swasta seperti ormas memang belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan.Tetapi sebagai manusia yang terikat dengan masyarakat apalagi merepresentasikan keagamaan, seharusnya paham betul mengenai etika tindakan dan kepantasan. Selain itu perlu untuk memahami kewajiban-kewajiban dalam bertindak. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan itu merupakan etika dalam pekerjaan. Menolak segala macam pemberian terkait dengan tugas-tugasnya dari pihak luar apalagi pemangku kepentingan, seharusnya sudah menjadi kewajiban etis. Jadi perlu juga dipertanyakan pemahaman etika pekerjaan dalam klaim-klaim bernuansa "sukarela".

Jadi kesimpulan dari ini semua, adalah halal dan haram perlu juga dikaji konsistensinya dengan hukum nasional, jangan sampai produk-produk yang dihasilkan secara haram diberi label halal hanya karena tidak mengandung babi, atau enzim babi, karena ini sama saja menuntup mata dari upaya perlindungan masyarakat dari konsumsi produk haram. Kemudian bagi para pemegang kewajiban sertifikasi ini, perlu ditetapkan etika-etika pekerjaan atau code of conduct terutama terkait dengan sumbangan sukarela dari para pemangku kepentingan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun