Mohon tunggu...
David Pratama
David Pratama Mohon Tunggu... Koki - siap grak

tukang tidur, tukang ngopi, tukang nyantai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tertawa Itu Indah, Tertawa Itu Mendamaikan

30 Agustus 2016   11:02 Diperbarui: 1 September 2016   23:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Punakawan : Semar, Bagong, Gareng, Petruk (dokumen pribadi)

Pagi-pagi benar saya menerima pesan melalui Whats App. Saya mengira ini pesan yang penting karena waktu itu masih pukul tiga dini hari. Adakah yang meninggal? Adakah yang kecelakaan? Pesan itu ternyata dari sebuah group lintas iman. Saya pun semakin penasaran. Jangan-jangan ada berita yang kurang menyenangkan? Jangan-jangan ada teroris lagi? Kerusuhan lagi? Setelah saya buka dengan jantung berdebar, yang mengirim pesan adalah seorang Kyai yang isi pesannya adalah... cerita tentang Mukidi!! Oalah... Bikin kaget saja. 

Dan pesan berisi cerita Mukidi itu ditanggapi oleh anggota group yang lain dengan cerita Mukidi yang lainnya lagi... Jadilah pagi itu group What’s App lintas iman ramai dengan cerita-cerita Mukidi yang kadang konyol, kadang lugu, kadang sok pintar, kadang pula cabul (hihihi, maklum groupnya orang-orang yang sudah sepuh). Saya pun mengawali hari dengan ketawa-ketiwi sendiri membaca cerita Mukidi yang dibagikan teman-teman melalui group Whats App.

Tertawa bersama adalah bagian yang penting dalam menjaga kerukunan. Dengan tertawa bersama berarti tidak ada lagi batas yang menyekat antar agama. Tertawa itu bukan hanya sehat bagi tubuh dan jiwa kita tetapi juga sehat bagi relasi kita dengan sesama. Gus Dur seringkali menyisipkan humor di tengah-tengah ceramah atau pidatonya. Inilah senjata pemersatu yang mujarab! 

Dengan humor, Gus Dur dapat mencairkan suasana yang formal, resmi, dan terkesan kaku. Dengan humor, Gus Dur menyatukan siapapun pendengar ceramahnya dalam satu kebersamaan tawa. Mereka yang beragama Islam tertawa, yang beragama Kristen tertawa, yang beragama Buddha tertawa, yang beragama Hindu tertawa, yang beragama Kong Hu Cu tertawa, yang beraliran kepercayaan tertawa, yang tentara dan polisi tertawa, yang rakyat biasa tertawa, yang kaya tertawa, yang miskin tertawa... semuanya tertawa bersama. Hanya mereka yang menyimpan kebencian sajalah yang tidak dapat tertawa.

Kembali lagi ke Mukidi. Tokoh Mukidi memang menjadi bintang media sosial akhir-akhir ini. Siapakah dia? Entahlah... Tidak ada yang tahu siapa itu Mukidi. Yang jelas kehadiran Mukidi telah berhasil membuat banyak orang tertawa – atau paling tidak tersenyum kecil. Tanpa kita sadari, hadirnya tokoh Mukidi ini mampu mengajak kita untuk tertawa bersama, menjaga eratnya silaturahmi.

Kadangkala Mukidi ini adalah rakyat biasa, kadang pula ia seorang pasien, kadang dia adalah dokter, kadangkala ia adalah guru, kadang dia beragama Islam, kadang ia beragama Hindu, kadang tidak jelas agamanya apa, kadang Mukidi ini orang tua, kadang remaja, dan tak jarang pula ia menjelma menjadi anak-anak kecil... Mukidi tampil dengan begitu luwes menyesuaikan situasi yang ada. Apapun baju yang ia pakai, tugasnya hanya satu : mengajak untuk tertawa bersama!

Dalam dunia pewayangan Jawa ada tambahan tokoh yang diselipkan di antara kisah pewayangan yang digelar. Mereka adalah Punakawan : Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Di tengah kemelut perseteruan dalam kisah pewayangan, Punakawan hadir mencairkan suasana. Punakawan digambarkan sebagai sosok abdi atau pembantu yang hidup sederhana, tetapi mampu membawa pesan yang dalam melalui canda-tawanya. Terkadang mereka berjoged, terkadang mereka beryanyi... Tugas mereka adalah membawa pesan kerukunan dan perdamaian melalui dagelan.

Humor. Inilah yang dibutuhkan untuk mempererat kerukunan di tengah perbedaan. Dengan canda dan tawa kita melupakan beda dan kasta. Sosial media adalah ajang yang sangat tepat untuk menebar virus humor seperti halnya balada Mukidi. Ketimbang media sosial hanya berisi fitnah, hujatan, propaganda tak jelas, ajang menebar kebencian yang akhirnya memperlebar jarak perbedaan, alangkah lebih sehatnya kalau kita isi dengan sesuatu yang menghibur dan memuat pesan perdamaian. 

Hadirnya Punakawan sebagai sosok penghibur sekaligus pendamai janganlah hanya kita batasi di tangan sang dalang saja, tapi baiknya kita hadirkan di dalam sosial media dengan memberitakan kabar-kabar yang memancing senyum tawa bahagia. Mari kita tertawa bersama menikmati indahnya dunia.

Facebook | Twitter

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun