Berbeda dengan Demokrat, dalam tubuh Partai Keadilan Sejahtera konflik internal terjadi antara kubu yang lebih berkiblat nasionalis  yang dimotori Anis Matta dan Fahri Hamzah, dan kubu Islamis seperti Sohibul Iman,  Hidayat Nur Wahid, Mardani Ali Sera. Anis Matta membentuk ormas Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI). Upaya pemecatan Fahri Hamzah menjadi puncak perselisihan kader PKS pusat. Akhirnya pasca tidak menjabat lagi di DPR, Fahri Hamzah dan Anis Matta membentuk partai baru. GARBI mendeklarasikan berdirinya Partai GELORA, Gelombang Rakyat, bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2019.
Jika mengamati transisi dan konflik internal Demokrat, nampaknya sulit bagi AHY untuk membawa Demokrat mengikuti jejak PDIP berpuasa 10 tahun untuk menang lagi 10 tahun. PKS sendiri dengan adanya perpecahan dan lahirnya Partai Gelora, akan mengurangi jumlah pemilihnya, seandainya Gelora memang mampu menarik simpati pemilih loyal PKS yang nasionalis. Mempertahankan jumlah suara saja sulit bagi PKS, apalagi terpikir menjadi juara. Apalagi tidak punya media berita layaknya Perindo dan Nasdem. Semakin terjal jalan yang didaki.
Megawati selama mengalami menjadi oposisi mempersilahkan kader yang ingin keluar. Tidak jadi masalah baginya. Namun perlahan tapi pasti membangun kekuatan di daerah dan menjadi gong di level nasional.Â
Megawati mengirim Ganjar Pranowo dari Senayan untuk bertarung di Pilgub Jawa Tengah di 2013, menang dan berhasil meneruskan menjabat hingga periode kedua disana. Lalu Jokowi yang berhasil dalam menjabat Walikota di Solo, diorbitkan ke Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 pun berhasil menang. Keberanian dan kelegowoan Megawati menjadikan Jokowi Capres 2014 menjadi titik tolak kemenangan secara nasional.Â
Hal seperti ini tidak tampak pada Demokrat dan PKS. Belum ada kader fenomenal yang mampu memenangi daerah untuk didorong ke level nasional. AHY sempat maju di Pilgub DKI 2017 namun kandas. Situasi tentu berbeda seandainya AHY menang dan menjabat Gubernur DKI.
Sebetulnya ada Partai Gerindra yang hampir saja menjadi penerus jejak menjadi oposisi 10 tahun koalisi Jokowi. Namun ternyata Gerindra berubah haluan politik dan mengirim dua menteri masuk dalam gerbong Jokowi. Gerindra sebetulnya sudah mengalami 10 tahun di luar pemerintahan. Pertama pada 2009-2014 bersama dengan PDIP dan Hanura. Lalu dilanjutkan 2014-2019 bersama PKS dan dan Demokrat.Â
Namun Gerindra nampaknya berhitung cermat bahwa momentumnya tidak sama seperti pengalaman PDIP 2004 - 2014. Tidak ada dampak signifikan menjadi oposisi. Dengan berada dalam gerbong pemerintahan malah akses menjadi terbuka.Â
Ini menjadi kesempatan bagi Gerindra untuk membuktikan sama baiknya dengan kritis berada diluar dan mengukir prestasi dengan berada di gerbong koalisi. Hanya dengan cara itu Prabowo makin berpeluang maju sebagai Capres atau pun menjadi King Maker layaknya Megawati.
Dengan posisi yang berimbang ini, tidak ada partai yang terlalu dominan, menarik menunggu tahun 2024 dan arah arus politik yang seringkali tidak terduga. Apakah popularitas tokoh semata nanti yang jadi pembeda? Atau mampukah juga partai baru seperti Gelora dan 'PAN Reformasi' merangsek ke senayan? (*)