Tepat hari ini saya mendapat 1001 poin sejak aktif menulis dari 14 April lalu. Angka yang unik. Untuk itu saya ingin merayakannya dengan berbagi refleksi perjalanan menulis di Kompasiana ini. Sekaligus menjadi artikel ke 50 saya. Hehe
Titik tolak mulai menjadi Kompasianer aktif
Saya mulai terdaftar sebagai kompasianer pada 27 September 2011. Namun saya mulai menuliskan artikel pada April 2020. Ternyata hampir 9 tahun saya vakum. Tidak menghasilkan tulisan apapun pada blog Kompasiana ini. Sederhana alasannya, waktu itu saya berpikir, untuk apa nulis di Kompasiana? Gak ada faedahnya. Gak ada duitnya pula. Ngabisin waktu aja.Â
Akhirnya selama 9 tahun itu, saya hanya menulis pada buletin yang memberikan honor bagi penulisnya. Buletin kantor tempat bekerja atau buletin kantor tetangga. Dan pada beberapa surat kabar. Meskipun tidak banyak. Simpel, ada rupiahnya. Minimal bisa beli permen lah buat anak. Hehe
Sederhana alasannya, waktu itu saya berpikir, untuk apa nulis di Kompasiana? Gak ada faedahnya. Gak ada duitnya pula. Ngabisin waktu aja
Namun setelah negara api menyerang saya mulai berubah! Lah, apa hubungannya dengan negara api? Memang gak ada. Haha
Saya berubah pikiran tentang menulis untuk publik ketika berdiskusi dengan seorang profesor yang juga membimbing saya dalam studi saat ini. David, bagaimana cara orang tahu apa isi pikiran mu? apa ide-ide mu?Â
Sebrilian apa pun ide itu, kalau hanya ada di otak mu, itu tidak akan pernah diketahui orang lain. Perlu ada cara mengkomunikasikannya. Entah dengan berbicara di depan publik, atau entah dengan membuat suatu tulisan yang bisa dibaca banyak orang.Â
Sebrilian apa pun ide itu, kalau hanya ada di otak mu, itu tidak akan pernah diketahui orang lain.
Tulisan akademik memang bagus, untuk kepentingan sesama peneliti. Namun paper atau journal punya kelemahan, komunikasi ke publik tidak nyambung.Â