Sebagian elite politik dan juga aktivis meminta pemerintah menunda Pilkada serentak yang akan digelar pada Desember 2020. Â Pandemik Covid-19 yang kini menjadi alasan berbagai permintaan itu. Saya justru memiliki pendapat yang sebaliknya. Sebaiknya, pilkada serentak tidak ditunda. Setidaknya ada dua alasan sebaiknya pilkada serentak tidak ditunda.
Pertama, pilkada serentak di masa pandemi justru merupakan kesempatan bagi bangsa ini untuk melakukan lompatan dalam pemanfaatan teknologi di satu sisi dan beradaptasi dengan pandemi covid-19 di sisi lainnya. Pandemi Covid-19 ini adalah batu loncatan bagi kita semua untuk mulai mengubah cara berkampanye dan juga pemungutan suara dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.Â
Di era pandemi ini cara kampanye harus diubah dari pengumpulan massa secara offline menjadi pengumpulan dukungan secara virtual. Pertemuan-pertemuan kampanye yang selama ini dilakukan secara offline dapat digantikan dengan webinar dengan menggunakan platform digital dari zoom, google meet hingga microsoft teams.Â
Jika pertemuan-pertemuan offline di lapangan dalam kampanye berisi jargon-jargon dan agitasi, maka kampanye secara virtual dengan webinar labih banyak diskusi yang lebih substantif. Isi kampanye pun lebih berisi dan bermutu daripada pertemuan offline. Artinya secara kualitas dialog politik akan jauh lebih bermutu daripada dengan kampanye offline pengumpulan massa. Jika itu terjadi maka akan banyak muncul ide-ide kreatif pemanfaatan tekonologi informasi dan komunikasi untuk kampanye.
Untuk hari 'H' pelaksanaan pencoblosan pun bisa dengan menggunakan e-voting. Warga sebagai pemilik kedaulatan rakyat tidak perlu datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk memberikan suaranya.Â
Bagaimana dengan kesiapan sumberdaya manusia untuk melakukan kampanye online dan e-voting? Indonesia siap. Bukankah sudah banyak sarjana-sarjana teknik informatika yang dihasilkan dari perguruan-perguruan tinggi negeri maupun swasta? Para sarjana-sarjana teknik informatika itu nantinya yang akan menjadi garis depan dalam merancang sistem kampanye online dan e-voting.
Lantas, bagaimana dengan daerah yang akses internetnya terbatas. Daerah yang akses internetnya terbatas tetap bisa mengadakan pertemuan offline dengan peserta yang terbatas dengan terbatas, di ruang terbuka dan tetap mematuhi protokol kesehatan (pake masker, cuci tangan dan jaga jarak). Kampanye pilkada dengan sendirinya akan menjadi kampanye massal bagi pelaksanaan protokol kesehatan. Tentu saja syaratnya harus ada monitoring yang ketat terhadap pelaksanaannya. Â
Kedua, pilkada adalah bagian dari perputaran uang di daerah. Ini bukan persoalan money politik tapi biaya kampanye (meskipun dilakukan secara online) oleh para kandidat. Meskipun biaya untuk kampanye online bisa jadi lebih kecil daripada kampanye offline, bukan berarti tidak ada biaya sama sekali.Â
Akan muncul pembiayaan untuk penggunaan platform webinar, creative content, digital campaigner dsb. Pendek kata, akan lebih banyak uang berputar dibandingkan tidak ada pilkada sama sekali di daerah.
Pengalaman pilkada di masa pandemi dengan memaksimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi bukan saja lompatan besar tapi juga pijakan bagi perbaikan kualitas demokrasi kedepannya. Sayang, beberapa pihak justru melihat pandemi Covid-19 sebagai hambatan bukan sebuah peluang untuk melakukan lompatan jauh kedepan.