8 Mei 1993, seorang perempuan muda ditemukan meninggal dunia dengan penuh luka di hutan Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk. Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya saat itu menyimpulkan, perempuan itu tewas akibat penganiayaan berat.. Perempuan itu bernama Marsinah.
Marsinah saat dibunuh masih berusia muda. Usianya sekitar 24 tahun. Ia dibunuh setelah memperjuangkan hak buruh di pabrik tempatnya bekerja. Marsinah tidak hanya memperjuangkan hak-hak buruh perempuan namun semua hak buruh, baik laki-laki maupun perempuan. Ia berjuang tidak memandang perbedaan jenis kelamin. Marsinah melampaui perjuangan kelompok feminis di negara-negara maju. Namun, keberanian dan kegigihan Marsinah harus dihentikan oleh orang-orang tanpa perikemanusiaan pada saat itu.Â
Pembunuhan Marsinah adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan di era industrialisasi. Perubahan sistem ekonomi politik yang bertumpu pada penguasaan alat-alat produksi oleh kaum bangsawan (feodalisme) ke sistem kapitalisme ternyata tidak merubah pola kekerasaan pada perempuan. Sistem kapitalisme adalah sistem ekonomi politik yang bertumpu pda penguasaan alat-alat produksi di tangan pemilik modal swasta. Pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Perempuan seperti keluar dari mulut harimau, masuk mulut buaya. Pola penindasan perempuan tidak berubah malah justru semakin dalam. Para pemilik modal dalam sistem kapitalisme, berupaya mengakumulasikan laba dengan cara menekan upah buruh. Salah satu cara menekan upah buruh itu adalah menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai buruhnya. Buruh perempuan diberikan upah yang rendah dibandingkan buruh laki-laki. Paradigma yang dipakai oleh para pemilik modal adalah bahwa kerja perempuan adalah dalam kerangka mencari tambahan nafkah. Suami (laki-laki) sebagai kepala keluarga tetap menjadi pencari nafkah utama. Karena dianggap hanya mencari tambahan nafkah, maka upah buruh perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Meskipun beban kerjanya sama.
Buruh perempuan juga diperlukan oleh pemilik modal sebagai bagian dari melemahkan posisi tawar buruh. Buruh perempuan akan merupakan cadangan dari buruh yang sudah ada di pabrik-pabrik. Sehingga bila buruh di pabrik berulah menuntut upah yang layak, para pemilik modal dengan mudah memecatnya tanpa takut kehilangan pasokan buruh di luar pabrik. Karena adanya buruh perempuan yang menggantikan buruh yang dipecat. Terlebih buruh perempuan dapat diupah lebih rendah daripada buruh laki-laki.
Penindasan para pemilik modal di era industrialisasi kepada buruh itulah yang kemudian dilawan oleh Marsinah. Perempuan muda itu dengan berani menuntut kenaikan upah buruh, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi Marsinah, tidak ada beda antara buruh laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama bekerja dan harus mendapatkan upah yang layak.Â
Jika ditarik lebih jauh, perjuangan Marsinah bukan hanya perjuangan buruh yang melawan upah layak. Marsinah mulai menggoncang paradigma kapitalisme dalam melihat perempuan. Kapitalisme yang memanfaatkan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan sebagai peluang untuk mengeksploitasi buruh perempuan untuk akumulasi modal mulai digoncang oleh seorang Marsinah. Sejatinya, Marsinah telah membahayakan sendi-sendi kapitalisme. Marsinah harus dibungkam. Salah satu caranya adalah dengan menyiksa dan membunuhnya.
Hingga kini, siapa pembunuh Marsinah tidak jelas. Ini adalah sebuah teror bagi buruh-buruh perempuan lainnya.
Namun, waktu berlalu. Rejim kapitalisme yang ditopang kekuatan aparatur kekerasaan, Orde Baru telah tumbang. Â Perlakuan pemilik modal terhadap buruh perempuan mulai melunak, meskipun mungkin belum sepenuhnya berubah. Buruh perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh pemilik modal. Bahkan banyak perusahaan-perusahaan yang kini telah memberikan upah terhadap buruh perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Namun, apakah dengan begitu penindasan terhadap perempuan di era kapitalisme sudah berhenti?
Ternyata tidak. Bila dulu kapitalisme melihat perempuan sebagai pasokan dari buruh. Kini kapitalisme melihat perempuan sebagai target pasar di samping laki-laki. Perempuan adalah konsumen potensial. Mereka didorong untuk belanja, belanja dan belanja. Meskipun apa yang mereka belanjakan belum tentu merupakan kebutuhan nyatanya. Bagi pemilik modal, apakah yang dibelanjakan konsumen benar-benar kebutuhannya atau tidak adalah bukan sebuah hal yang penting. Bagi pemilik modal mereka membelanjakan uangnya. Dengan membelanjakan uangnya maka akan mempercepat akumulasi laba bagi pemilik modal.Â
Apa akibatnya? Untuk memenuhi dorongan belanja, belanja dan belanja itulah perempuan bekerja lebih keras dari biasanya. Kerja perempuan yang lebih keras dari biasanya itu selain berpotensi menganggu kesehatan jiwa dan raganya juga akan menganggu upaya mengoptimalkan potensi dirinya. Â Salah satu bentuk aktualisasi diri perempuan direduksi hanya dalam satu dimensi; berbelanja.
Inilah kekerasaan baru terhadap perempuan saat ini. Namun, kekerasaan itu sangat halus, hingga perempuan sendiri tidak menyadari bahwa itu adalah sebuah kekerasaan. Inilah pekerjaan rumah, 'Marsinah-Marsinah' muda. 'Marsinah-Marsinah' muda nanti akan membebaskan perempuan dari eksploitasi para pemilik modal. Sudah munculkah 'Marsinah-Marsinah' muda itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H