Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Tuhan? Ah, Itu kan Cuma...."

23 Desember 2009   17:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_42558" align="alignleft" width="300" caption="The Die Hardest: Feuerbach, Freud, Sartre"][/caption] Bagi anda yang saat ini tengah diliputi kebahagiaan menyambut hari raya keagamaan, dan sedang asik tenggelam dalam nikmatnya rasa keimanan anda kepada Tuhan, maka pertanyaan tentang keimanan kepada Tuhan tentu saja adalah sesuatu yang tak relevan lagi. Penyerahan diri kepada keimanan, dan kenyamanan, kenikmatan, serta kebahagiaan yang anda rasakan tak dirasa perlu untuk digugat atau dipertanyakan. Namun tak dapat pula kita pungkiri, bahwa ada dari antara kita dan sebagian manusia lainnya yang masih tak mau menyerahkan rasio-nalar kepada keimanan. Mereka terus berpegang teguh kepada kekuatan akal. Terus menggedor-gedor pintu iman dan mempertanyakan. Bertahan pada keyakinan pemikiran sekeras batu. Mereka pernah ada, akan terus ada dan akan terus bertanya. Mempertaruhkan kehidupan yang dipunya, bahkan sampai akhir waktu mereka… Bagi Ludwig Feuerbach (1804-mati 1872), seorang filsuf Jerman dan juga anthropologist, Tuhan sebenarnya cuma ciptaan angan-angan manusia. Manusia menginginkan kebaikan, maka ia kemudian membayangkan adanya Yang Maha Baik. Manusia mendambakan menguasai pengetahuan, maka ia membayangkan adanya Yang Maha Mengetahui. Dengan demikian, bukanlah Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Tuhan dan agama hanyalah merupakan hasil proyeksi manusia tentang dirinya sendiri. Allah, malaikat, surga, neraka sejatinya hanyalah produk-produk pikiran spekulatif...berupa gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri. Padahal bagi Feuerbach, mustinya kita harus bertolak dari satu-satunya realitas yang tidak dapat dibantah, yaitu kepastian inderawi. Maka hanya ada satu titik tolak yang sah bagi filsafat, yaitu manusia inderawi. Yang di luar inderawi adalah tidak sah maka tidak boleh dianggap ada. Bagi Feuerbach, agama tidak lebih daripada proyeksi hakekat manusia, tetapi kemudian manusia melumpuhkan dirinya sendiri di hadapan bayangan-bayangan itu, yang diciptakannya sendiri, yang kemudian disegani dan lantas disembah2nya sendiri. Bagi Sigmund Freud (1856-mati 1939), seorang psikiatris asal Austria, Tuhan dan agama hanyalah sebuah “Ilusi Infantil”…ilusi anak kecil yang belum dewasa. Manusia menghadapi masalah-masalah kehidupan berupa derita kemalangan dan kesempitan. Maka ia kemudian dengan manja menyandarkan dirinya kepada sebuah ilusi: agama…..yang diyakininya akan melindungi dan membebaskannya dari penderitaan, kemalangan dan kesusahan. Bagi Frued, agama telah membuat manusia menjadi manja dan berperilaku seperti anak kecil (infant). Anak kecil yang memiliki banyak mimpi-mimpi, angan-angan dan harapan-harapan, namun harapan-harapan itu menurut Freud sebenarnya hanyalah sebuah ilusi yang tidak mungkin terpenuhi. Persis seperti tingkah laku anak kecil. Jadi, menurut Freud, agama justru telah melumpuhkan manusia dengan cara menjadikannya tak kunjung dewasa dan tak bisa mandiri mengembangkan kekuatan-kekuatannya sendiri. Bagi Jean-Paul Sartre (1905-mati 1980), Tuhan tidak boleh ada jika kita –manusia- ingin eksis secara otentik. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya. Manusia sama sekali bebas, sama sekali tidak terdeterminasi. Ia harus memproyeksikan diri, menciptakan diri, melalui kebebasannya. Melalui tindakan bebas ia menjadi. Otentisitas manusia berarti bahwa ia bertanggungjawab atas dirinya sendiri, menciptakan kodratnya, dan ia sendirilah yang membentuk dirinya sendiri. Namun dengan menghadirkan Allah, maka manusia kemudian kehilangan kebebasannya. Bagi Sartre, kehadiran Allah yang menciptakan manusia, yang memelihara manusia, dan bertanggungjawab bagaimana manusia berkembang serta bagaimana ia bertindak….sama artinya dengan melenyapkan eksistensi manusia. Karena semua kini sudah ditentukan oleh Allah. Apa lagi yang tersisa bagi manusia? Tidak ada. Manusia kini tidak punya lagi kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Maka dengan percaya kepada Allah manusia tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri, ia tidak menjadi otentik. Apabila Allah ada, maka manusia itu sejatinya tidak ada… Tapi ya sudahlah,… tak perlu diperdebatkan terlalu serius jika kita tak sepaham dengan mereka. Selalu akan ada yang seperti mereka. Dulu, kini dan seterusnya nanti. Bagi mereka, itu keyakinan harga mati. Dan mereka berani menggenggam teguh keyakinan itu hingga mereka satu-satu mati. Generasi demi generasi selalu saja ada manusia yang mempertanyakan tentang Tuhan dan “mematikan” Nya. Satu persatu mereka akhirnya mati….sementara itu Tuhan yang mereka ragukan justru terus hidup dalam warisan pertanyaan yang tetap mengabadi. Karena bukankah mereka yang menyangkal… ”Tuhan? ah..itu kan cuma…” justru senantiasa juga “menghadirkan” Tuhan di saat yang sama di dalam ruang hatinya ?..... 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun