Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merenungkan Kontroversi Romo Magnis

9 April 2024   12:29 Diperbarui: 9 April 2024   12:46 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prof. Frans Magnis Suseno, Imam Katolik,  Ahli Filsafat dan Etika, telah lama mewarnai alam narasi publik, baik di media mainstream maupun forum diskusi dan seminar.

Sumbangan pemikiran beliau sering jadi rujukan karena bernas, dan mampu sebagai paradigma alternatif. Karena itu wajar beliau disejajarkan sebagai seorang ilmuwan terbaik Indonesia, terutama di bidang ilmu sosial dan Filsafat.

Romo Magnis jadi buah bibir, bahkan banyak mencibir karena kehadiran beliau sebagai saksi ahli sidang perkara PHPH (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) di MK (Mahkamah Konstitusi), Kamis, 4 April 2024.

Sebagai saksi ahli yang dihadirkan pemohon Tim Hukum pasangan Ganjar-Mahfud, Romo Mangun mengatakan, "Terkesan Presiden Joko Widodo memakai kekuasaannya demi keuntungan sendiri dan keluarga, ini dipandang sangat fatal karena Presiden milik semua , bukan hanya milik orang yang memilihnya, atau partai tertentu saja".

Romo Magnis kemudian mengkritik Presiden menggunakan bansos untuk kepentingan politik terrentu. Hal itu dianggap melanggar etika karena  sama saja dengan tindakan pencurian.

Yusril Ihza Mahendra Tim Hukum pasangan Prabowo-Gibran kemudian mengungkit dan mempertanyakan data yang membuat Romo Magnis bicara demikian, dan mempertanyakan apakah Romo Magnis "bicara omong kosong, tidak mengerti atau memanipulasi segala sesuatu untuk kepentingannya sendiri.

Kemudian Yusril juga mempertanyakan kapasitas Romo Magnis sebagai seorang Romo, Seorang Pastor Katolik yang mengkualifikasikan Presiden Jokowi melakukan kejahatan dengan menyalahkangunakan bansos.

Perdebatan ini kemudian jadi konsumsi publik, menimbulkan kontroversi, baik tentang "Apakaj pembagian bansos oleh Presiden Jokowi melanggar etika atau tidak", dan kontroversi tentang keberadaan Romo Magnis sebagai Imam Katolik atau Pastor disesalkan ikut politik praktis dan dipertanyakan netralisitas maupun keberpihakannya.

Sesama umat Katolik juga ikut perdebatan antara memihak maupun menyesalkan seorang Pastor ikut bicara tentang politik. Ironisnya sampai ada pihak memaki dan menyindir Romo Magnis dengan kalimat pedas dan sinis.

Itu semua terjadi karena banyak pihak memandang keberadaan Romo Magnis berdasarkan sudut pandang masing-masing, sesuai dengan asumsi diri sendiri, bahkan cenderung dipengaruhi oleh faktor keberpihakan mereka terhadap paslon Pilpres 2024 yang berperkara di MK.

Sudah barang tentu objektivitas jadi barang langka karena pembicaraan diselimuti oleh kepentingan pribadi berbentuk keberpihakan dan dukung mendukung pigur pasangan capres.

Padahal jelas kehadiran Romo Magnis sebagai saksi ahli karena kapasitas beliau dianggap mumpuni di bidang Etika dan Moral. Bukan merupakan representasi institusi Gereja Katolik Universal.

Imam dan Umat Katolik, paham bahwa sesuai dengan kanon 287 KHK (Kitab Hukum Kanonik) atau Cordex Luris Canonici jelas memuat aturan atau norma bahwa ditekankan Gereja Katolik tidak berpolitik praktis, dan akan selalu berupaya tidak terjebak primordialisme agama.

Kemudian Gadium et Spes (Kegembiraan dan Harapan), dokumen Konsili Vatika II menyatakan "Gereja menarik garis batas tegas antara Agama dan Negara".

Dalam berpolitik, khususnya menentukan pilihan politik, terutama pilihan dalam Pemilu, umat Katolik menganut prinsif "MINUS MALUM", yang berarti "Memilih yang terbaik diantara terburuk", atau memperkecil kemungkinan terpilih sesuatu yang buruk.

Oleh karena itu politik harus dihayati sebagai "Sakramen", yaitu jika dijalankan dengan benar akan jadi tanda yang kelihatan dari hadirnya rahmat Allah yang tidak kelihatan. Tujuan utamanya dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (Bonum Commune).

Dihayati dan dijalankan dengan benar bearti tidak melanggar nilai-nilai moral dan etika. Pemilu tidak hanya dilaksanakan secara prosedural, menghalalkan segala cara demi kepentingan legitimasi kekuasaan belaka.

Pemilu dilaksanakan harus memuat nilai-nilai atau norma-norma yang baik dan penuh kemuliaan sebagai artikulasi dan aktualisasi jeritan hati nurani rakyat.

Kerinduan akan politik yang dilandasi oleh nilai-nilai etika dan fatsun politik jadi ranah perjuangan Romo Magnis lewat sidang mulia MK, bukan melulu bicara tentang angka rekapitulasi perolehan suara  ala kalkulasi kalkulator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun