Maka, alangkah baiknya hal ini didialogkan secara terbuka untuk mencari jalan terbaik, dan memberi kepastian hukum bagi semua pihak.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja), merupakan salah satu petunjuk menentukan besaran pesangon karyawan PHK yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketentuan pesangon karyawan PHK sebelumnya juga dimuat dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, tetapi karena keputusan MK menyatakan UU itu inkonstitusional bersyarat, dan diberi waktu 2 tahun untuk diperbaiki pemerintah, maka kepastian kebijakan tentang PHK juga terkatung-katung.
Sementara dengan kondisi ekonomi dunia saat ini yang penuh dengan tidak kepastian, pelaku usaha dihadapkan kepada situasi untuk mengantisipasi terjadinya PHK.
Demikian juga buruh butuh kepastian nasibnya jika gelombang PHK muncul. Pemerintah juga butuh kebijakan antisipatif untuk menghindari terjadi hal buruk jika terjadi PHK besar-besaran.
Perppu Cipta Kerja, sesuai bunyi ketentuan Pasal 156 ayat 1 menyebutkan bahwa pengusaha diwajibkan memberi pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Dalam Perppu Cipta Kerja dikatakan, jika masa kerja paling lama adalah 8 tahun atau lebih, maka, karyawan atau pekerja yang terkena PHK akan mendapatkan pesangon 9 bulan upah. Jika ditambah dengan uang penghargaan atau tercatat memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih, maka akan mendapatkan 10 kali upah.
Total bisa didapat karyawan bila terjadi PHK sebanyak 19 kali upah atau gaji, yang berasal uang pesangon dan uang penghargaan.
Hal ini sangat penting dibicarakan dan diputuskan segera karena merupakan kebutuhan mendesak sebagai sebuah kepastian.
Bahkan skema aturan pemberian pesangon PHK ini masih debatable karena harus mempertimbangkan apakah buruh sudah merasa cocok dengan kebijakan itu, dan sebaliknya apakah pelaku usaha siap melaksanakannya dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini?