Mohon tunggu...
Daud Farma
Daud Farma Mohon Tunggu... Penulis - Pribadi

Pemenang Pertama Anugerah Sastra VOI RRI 2019 Khusus Siaran Luar Negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Panti Asuhan ke Dayah Perbatasan

26 Oktober 2020   05:58 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tuliskan namamu, dan besok sore sudah bisa diambil papan namanya di sini." katanya menyerahkan pena dan buku tulis yang agak besar. Kutatap wajah Mubtadak, aku tidak mengerti maksud dari papan nama yang diucapakan oleh seorang yang dengan nama panggilannya, “Akhi.”

"Tulis nama pendek Kau aja, Bib! Jangan panjang kali kek perkenalan tadi, macam akar pohon beringin, seram Aku mendengarnya. Papan nama ini untuk Kau tempelkan di baju Kau, agar orang segera hafal nama Kau dan OPDA maupun As-Satidz mudah menghukum Kau kalau Kau nakal!." kata Mubtadak menjelaskan dengan nada sedikit tinggi sambil tertawa kecil. Lalu dengan segera, tak sampai satu menit, kutulis, "Bib!", kemudian kuserahkan kembali buku tulis itu kepada seorang Akhi, yang di mejanya tertulis dengan kata, "Kasir". Penjaga Kopel itu menerimanya dengan menganggukkan kepala dan ia mengerutkan keningnya, "Yakin ini nama yang akan ditulis di papan namamu?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Mubtadak tak memperhatikan.

"OPDA itu apa, Dak?"

"OPDA adalah singkatan dari Organisasi Pelajar Darul Amin. Mereka adalah kakak senior kelas 5 KMI yang dipercaya oleh ustadz untuk membantu para assatidz mengurus kita." Aku mengangguk sok paham.

 Tak lama setelah itu, penjaga yang pergi ke rak-rak tadi datang dengan membawa berbagai macam barang. Di antaranya; satu pasang sandal, dua buah buku ukuran standart yang agak tebal, satu pasang gembok dan anaknya, dan buku-buku mata pelajaran."

"How much, Akhii?" kata Mubtadak pada tuan kasir. Entah dengan bahasa apa itu. Aku hanya bengong saja, memperhatikan tuan kasir menjumlahkan dengan memakai kalkulator. Aku hanya menebak bahwa Mubtadak menanyakan harga total. Tuan kasir itu menunjukkan layar monitor kalkulator itu kepada kami sambil berkata, "Three Hundred and twenty thousand rupiah." kata tuan kasir. Kali ini aku mulai menebak arti ucapannya, tapi aku ragu. Di sana tertulis dengan angka; 320.000. Kutatap muka Mubtadak.

"Tiga ratus dua puluh ribu, Bib. Ada uang Kau?" tanya Mubtadak. Aku geleng-geleng. Aku belum pernah memegang uang sebanyak itu. Uang yang ditinggalkan ayah padaku hanya lima puluh ribu dan beberapa recehan di dalam petiku. Tanpa ragu-ragu, Mubtadak mengeluarkan uangnya.

"Kau pakai uangku saja dulu, Bib. Tapi ingat, nati harus Kau ganti ketika bapak Kau datang." kata Mubtadak menatapku, kemudian tangan kanannya menyerahkan uangnya kepada tuan kasir. Aku tidak mengeluarkan uang sepeserpun.

Malam ini malam pertamaku di Pesantren. Tadi sore aku terisak menangis berpisah dengan kedua orangtuaku, ketakutan mendengar suara lonceng dan sekarang aku punya hutang sebesar tiga ratus dua puluh ribu rupiah. Aku setegah terkejut mendengar utang sebanyak itu. Jumlah angka yang aku lihat tadi menyakinkanku, mereka pasti sedang tidak membohongiku dengan bahasa yang asing di telingaku. Aku hanya berprasangka baik. Keluar dari Koperasi, aku menghentikan langkahku dan duduk di bawah tiang listrik yang ada lampunya bersama Mubtadak.

"Dak, tadi Kau berbicara dengan bahasa daerah mana?" tanyaku pada Mubtadak. Dia agak kaget dengan pertanyaanku.

"HAH? Bahasa daerah Kau bilang?, jangan sekali-kali Kau berbahasa Daerah di sini, Bib! Bisa gundul Kau nanti!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun