Mohon tunggu...
Daniel Suharta
Daniel Suharta Mohon Tunggu... karyawan swasta -

www.daniest.com email : datasolusindo@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Titik Balik

25 Agustus 2013   17:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:50 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjalanan mengarungi kehidupan, setiap saat kita pasti mengalami pasang surut, kadang diatas, kadang pula dibawah, kadang bahagia kadang sedih. Bahkan ada saatnya kita mengalami kesedihan yang sangat dalam sehingga hidup kita seperti benar-benar terpuruk; dan seperti tak lagi mampu berjalan, bahkan bangkitpun serasa sangat susah. Sehingga perlu sebuah keajaiban agar semua itu bisa teratasi dan semangat hidup kita bisa pulih kembali.

Terpuruk, bagi saya bukan kata yang asing karena saya sendiri pernah mengalami, bahkan tidak hanya sekali akan tetapi berkali-kali meskipun tingkat keterpurukan tersebut tidak semuanya sampai pada titik nadir.

Dalam menghadapi situasi yang sangat tidak mengenakan karena dalam perjalanan hidup mengalami tekanan yang berat, untuk mengatasi semua itu agar kita bisa kembali bangkit bahkan membuat sebuah titik balik dalam prakteknya tidaklah mudah.

Keterpurukan paling dalam yang saya alami adalah saat saya menghadapi ujian kelulusan, dimana pada saat itu saya tahu bahwa walaupun saya nanti lulus, akan tetapi karena keadaan ekonomi keluarga saya yang sangat pas-pasan maka saya tidak mungkin bisa meneruskan study ke jenjang selanjutnya.

Disitulah dilema saya, disatu sisi saya harus belajar giat agar bisa lulus; disisi lain kalau lulus saya tidak bisa melanjutkan pendidikan saya ke tingkat yang lebih tinggi.Padahal saat itu saya berkeinginan untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan saya ke jenjang yang lebih tinggi, untuk bisa belajar lebih banyak lagi.

Dan keterpurukan tersebut masih berlanjut meski saya sudah bekerja beberapa saat selepas lulus ujian.

Adapun awal kebangkitan semangat saya adalah saat dimana saya pergi ke sebuah toko buku dan membaca buku - buku yang saya beli untuk saya pelajari secara intens. Dan dari hasil saya belajar secara otodidak tersebut ternyata saya bisa menciptakan sebuah peluang, yaitu saya bisa mendapatkan sebuah keahlian yang juga bisa mendapatkan sebuah pemasukan sehingga saya jadi merasa kecanduan untuk membaca lagi hal-hal baru yang lain yang ternyata juga bisa menghasilkan sebuah karya. Disinilah saya menjadi paham, bahwa untuk belajar, kita tidak harus melakukannya secara formal, dengan belajar secara otodidakpun bahkan bisa melebihi di pelajaran formal.

Namun, disini saya tidak menekankan finansial yang tinggi sebagai sebuah pemicu semangat hidup saya kembali terangkat, karena bagi saya, karya-karya saya sudah bisa bermanfaat bagi orang lainpun, rasanya itu sudah cukup. Karena itulah inti dari semua yang kita pelajari di jenjang sekolah selama ini, belajar demi sebuah pengabdian kepada orang lain, yang dalam istilah bahasa jawanya belajar agar bisa “migunani tumrap liyan”

Namun kalau berbicara tentang titik balik kehidupan dan pandangan hidup saya, titik awalnya bukanlah disitu.

Meski saya sudah bisa berkarya dari hasil belajar saya secara otodidak, dalam kehidupan saya sehari-hari masih banyak hal negatif yang selalu menyertai, baik kata kata, tingkah laku maupun sikap hidup saya. Saya masih sering marah, tidak sabar, bahkan merasa belum bisa menikmati hidup ini secara “smoot”; masih sering merasa “kemrungsung” apalagi pada pada saat-saat ingin memiliki suatu hal ataupun saat ingin mencapai sebuah tujuan. Bawaannya hanya ingin segera menyelesaikan semua itu dengan cepat, sehingga masih seperti merasa membawa beban yang berat bila tujuan itu belum tercapai.

Titik balik kehidupan saya berawal dari hal yang sederhana, yaitu disaat saya bersama teman-teman melakukan perjalanan bersepeda ke puncak Bukit Pathuk Gunung Kidul dan diteruskan ke puncak Dlingo, saya merasa begitu kelelahan dan kehabisan tenaga setelah sedikit memaksakan diri dalam memacu sepeda saya pada tanjakan-tanjakan tersbeut.

Disaat itulah, di selang sehari selepas perjalanan bersepeda saya, dimana seperti biasa setelah bersepeda saya dan teman-teman selalu upload foto-foto di Facebook, yang seperti biasa banyak komentar bergantian, saya mendapatkan sebuah pelajaran dari sebuah komentar salah satu teman saya, dan komentar tersebut kurang lebih adalah begini :

“ Saat melakukan perjalanan "tanjakan" bersepeda, janganlah kita berpikir untuk segera mencapai puncaknya, tapi nikmatilah setiap kayuhan kita dengan penuh, maka tanpa terasa, puncak itu akan kita jumpai dengan sendirinya ... “

Dan, kata-kata itu akhirnya saya emplementasikan juga dalam menyikapi hidup dan kehidupan saya, dimana ketika saya mempunyai sesuatu keinginan ataupun tujuan, maka saya akan menikmati langkah-demi langkah pencapaian itu, dan bukan lagi terpancang pada puncak "tercapainya" saja, sehingga saya justru tidak terpuruk ditengah jalan bila saya tidak sampai pada tujuan, melainkan justru sudah menikmati langkah-demi langkah tersebut dengan hati senang ... “

Sebagai penutup, saya ingin menyertakan sebuah kata kegemaran saya, yaitu :

“Hidup ini seperti bersepeda, kalau tidak tahu cara menikmatinya, ya ming kesel thok!”

.

Lereng Merapi 25 Agustus 2013


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun