Mohon tunggu...
Daniel Suharta
Daniel Suharta Mohon Tunggu... karyawan swasta -

www.daniest.com email : datasolusindo@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Negara Membutuhkan Anak Muda Seperti Mereka

2 Februari 2013   11:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:18 1701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Anak muda Jogja terus bergerak!)

Pangkal Korupsi

.

Korupsi, sepertinya sudah bukan hal yang tabu lagi bagi sebagian besar rakyat Indonesia, pun bukan dosa.

Apa sih dosa itu ?

Saya pernah mendengar sebuah lontaran dari  seseorang bahwa bila kita telah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain entah itu mencuri, korupsi-kolusi-nepotisme  atau apapun dan ketahuan orang lain itulah yang dinamakan dosa. Dosa karena bakal diadili oleh orang lain baik secara moral maupun hukum.

Jadi bukan dosa bila tidak ketahuan ...

Saya tidak mebenarkan hal tersebut, akan tetapi dalam praktek keseharian, saat ini hal seperti diatas rasanya sudah tak sulit untuk kita temui pada kehidupan sehari-hari …

Ada beberapa contoh kecil diantaranya adalah dalam jenjang sekolah/kuliah, masih saja terjadi ajang contek, joki dan semacamnya demi memuluskan perjalanan dari masuk, kenaikan kelas sampai pada kelulusannya

Begitu juga dalam dunia kerja. Saat ada sebuah instansi membutuhkan tenaga baru dan mengadakan test masuk, masih saja ada yang diutamakan entah itu karena ada hubungan kekerabatan ataupun karena bersedia membayar sejumlah uang, meskipun dalam test yang sebenarnya yang diterima tidak memenuhi kriteria ataupun lolos pada tahapan seperti yang seharusnya ditetapkan.

Satu hal lagi sebuah tindakan korupsi (kecil-kecilan?) yang kadang tidak disadari adalah saat ada pemilu/pemilukada. Dan ini terjadi dan dilakukan secara bersama-sama.

Adalah sebuah sikap dari orang-orang kampung yang mengatakan bahwa dari pada kita ditipu oleh caleg yang kita pilih dan kita tidak mendapatkan apa-apa, lebih baik kita minta dana untuk membeli peralatan dan inventaris kampung kita kemudian barulah kita memilih dia …

Inilah dilema tersulit untuk diurai, kalau memilih caleg tanpa dapat jatah, masyarakat trauma dibohongi belaka, akan tetapi kalau memilih caleg dengan meminta jatah terlebih dahulu, bukankah itu juga sebuah korupsi yang dilakukan bersama-sama dan dampaknya bagi caleg tersebut juga nantinya bila terpilih akan berusaha mencari uang “balen” ?

Sebuah ironi besar karena selalu teriak dan menyatakan orang lain korupsi akan tetapi yang berteriak justru pangkal dari korupsi itu sendiri … :’(

.

Berharap pada generasi muda

Lalu untuk memotong siklus mata rantai diatas bagaimanakah caranya ?

Bisakah kita berharap pada generasi muda ?

Tentu saja, harapan kita hanya tetaplah pada generasi selanjutnya, yaitu generasi muda!

Hanya saja, untuk saat inipun untuk mencari generasi muda yang mempunyai karakter lurus, baik dan bersih serta tidak tercemar budaya seperti diatas sangat sulit sekali, apalagi situasi sekitar sangat tidak mendukung; pola konsumtif yang melanda hampir sebagian orang di Indonesia, adalah hal yang paling melemahkan karakter itu!

Lihat saja, dijalan-jalan sangat mudah didapati anak yang dibawah umur sudah dengan leluasanya mengendarai sepeda motor yang seharusnya belum diperbolehkan untuk seumuran mereka. Orang tua cenderung membiarkan bahkan merasa bangga bila anak-anak mereka sudah bisa dan “berani” memakai kendaraan, merasa bangga karena itulah “symbol” kesejahteraan/ kekayaan mereka yang harus dipertontonkan kepada orang lain!

Banyak hal lain yang dilakukan orang tua dan melemahkan karakter anak-anak meraka, akan tetapi saya tidak ingin mengupasnya secara keseluruhan, saya hanya ingin mengatakan bahwa dari antara sekian orang masih ada beberapa orang/ anak muda yang mempunyai kepribadian kuat dan karakter yang baik, salah satu contohnya adalah pada anak-anak muda yang akan saya sampaikan berikut ini …

Dalam sebuah tulisan saya yang berjudul Inilah gaya hidup anak muda Jogja saat ini,  saya uraikan bahwa di Jogja ada kegiatan bersepeda di hari Jumat terakhir pada setiap bulannya, dengan nama Jogja Last Friday Ride (JLFR), sebuah kegiatan yang sangat positif, yang bisa mengurangi atau menghilangkan kegiatan negatif anak muda di Jogja yang kadang bahkan sudah ada yang terjerumus dengan obat-obatan terlarang.

Kegiatan tersebut bukan hanya sekedar kegiatan bersepeda saja, melainkan juga kegiatan sosial, diantaranya adalah membuat tong sampah secara swadaya yang diletakkan di sepanjang jalan Mangkubumi; juga kegiatan membantu para pengemudi “becak kayuh” yang keberlangsungan hidupnya semakin tergeser oleh becak motor yang makin menjamur dan sepertinya malah akan dilegalkan oleh pemerintah kota Jogja.

Dan yang terakhir ini adalah kegiatan/aksi perbaikan sarana sepeda, yaitu perbaikan beberapa ruang tunggu sepeda di Jogja yang hampir hilang keberadaannya entah karena catnya sudah tergerus ataupun tertutup aspal baru …

Dan aksi (pengerjaan ruang-ruang tunggu sepeda) tersebut dilakukan karena walikota Jogja yang pada tanggl 6 oktober 2012 pernah berjanji akan segera memperbaikinya dengan ‘segera”, namun hingga tulisan ini saya publish realisasi tersebut belum dilakukan, dan para pesepeda Jogja tersebut merasakan bahwa respon walikota sangat lambat, maka mereka memutuskan harus segera mengerjakannya sendiri, mereka punya pikiran bahwa dengan atau tanpa peran pemerintah masyarakat tetap berdaya!

Baik itu secara material maupun moral!

Maka dimulailah aksi tersebut ...

Mereka menolak karena mereka masih mampu!

Dan disaat aksi tersebut tercium media masa dan masuk dalam berita secara berturut-turut di koran koran lokal Jogja dalam beberapa hari ini, ada respon dari ketua DPRD Jogja yang menyatakan mendukung aksi tersebut dengan jalan ingin menyumbangkan satu bulan gajinya sebesar 10 juta untuk aksi tgersebut.

Disinilah letak keberdayaaan, kemandirian dan karakter kuat para penggiat sepeda dan street art tersebut

Mereka menanggapi keinginan ketua DPRD tersebut dengan cara menolak bantuan tersebut.

Dan alasannya adalah agar tidak merusak konsep kemandirian masyarakat.

Menurut meraka kucuran dana jutaan rupiah dari legislatif tersebut justru tidak mendidik dan hanya akan mematikan gerakan masyarakat untuk mandiri. Juga terjadinya kekhawatiran bila sumbangan tersebut diterima, akan merubah sudut pandang publik, seakan-akan aksi tersebut diwarnai kepentingan politik.

Dan yang lebih dari itu adalah mereka menolak karena mereka merasa masih mampu!

.

Dalam benak sayapun terpikir, ketika sumbangan tersebut diterima maka harus diterimakan kepada siapa dan laporan ke publiknya bagaimana, sehingga meskipun nantinya umpama mereka telah menggunakan dananya dengan benar, saya yakin ada juga pikiran publik tentang kemungkinan para penerimanya “ikut menggunakan” dana tersebut untuk pribadi.

Terus terang saya juga berpikiran, andai orang lain sangat mungkin sekali tergiur dan tawaran bantuan tersebut langsung diterima!

Maka, untuk sebuah sikap yang sangat tepat dan tegas ini, patut rasanya kita mengapresiasinya!

Meskipun mereka melakukan aksi mereka dengan cara bersusah payah mengumpulkan rupiah demi rupiah, namun mereka tetap mempunyai sebuah prinsip; bahwa aksi teresbut adalah aksi pesepeda yang berdaya! Dan bukan hal lain seperti , aksi perlawanan apalagi aksi cari untung seperti yang saya tulis dalam uraian diawal!

Untuk itulah sangat wajar rasanya bila saya mengatakan bahwa anak-anak muda seperti inilah yang diperlukan Negara!

Mereka terus bergerak, tanpa harus menunggu komando!

Dan juga, tanpa harus menunggu bantuan finansial!

.

Beberapa hal lagi yang menguatkan argumentasi saya adalah, di tengah konsumerisme yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, mereka tetap mempunyai gaya hidup yang tidak memperlihatkan kemewahan hidup “secara berlebihan”, secara “materi”;  mereka tetap mencintai gaya hidup sederhana, yaitu “rutin menggunakan sepeda” sebagai alat transportasi dan penjaga kebugaran tubuh meskipun dalam keseharian mereka juga ada yang memiliki motor/mobil yang mempunyai nominal rupiah yang tinggi. Bagi mereka motor / mobil adalah hanya sekedar sarana yang digunakan saat mereka membutuhkan saja, dan bukan sarana untuk “memamerkan” diri.

So ?

Terus beregarak friend!

Salut untuk para pesepeda yang mandiri dan berdaya!

Negara harusnya diisi orang-orang seperti Anda semua!

Bukan Negara yang korup dan buta dalam memenuhi ruang publik yang sehat untuk rakyat, bukan ruang publik yang semakin padat, macet dan semrawut!

.

Kaki Merapi, 2 Pebruari 2012

.

.

.

.

.

.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun