[caption caption="Diskusi Buku di Perpustakaan UI (Foto Dasman Djamaluddin)"][/caption]
Perpustakaan Universitas Indonesia (UI) pada Rabu pagi, 5 April 2017 dipilih sebagai tempat diskusi buku yang berjudul "Nilai Keindonesiaan," atas kerjasama Perpustakaan UI dengan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti. Pembicara dalam diskusi, yaitu Prasetijono Widjojo MJ, Prof Dr Susanto Zuhdi dan wartawan "Kompas," M Subhan SD.
Dalam menguraikan isi buku, yang lebih banyak membahas materi budaya, Prasetijono berharap sisi politiknya juga dikedepankan dalam buku ini. Sementara dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, lebih menyoroti buku dalam Ilmu Sejarah. Pun disinggung masalah pemindahan tokoh nasional Tan Malaka ke Sumatera Barat dari Kediri, Jawa Timur.
Menurut Susanto Zuhdi, tidak perlu memindahkan makam itu dari Kediri ke Sumatera Barat. Bukankah banyak juga pahlawan nasional kita, seperti Pangeran Diponegoro yang lahir di Yogyakarta dan dimakamkan di Makasar? Banyak juga pahlawan nasional kita mengalami hal yang sama. Jadi tidak perlu dipindah.
Susanto Zuhdi juga menjelaskan, bagaimana kita melekatkan nilai pada Indonesia.Perspektif dan analisis sejarah, ujar Susanto lebih lanjut, diharapkan mampu menjelaskannya. Kata "Indonesia" dalam arti yang hendak dilekatkan pada suatu komunitas bangsa yang hidup di wilayah yang sekarang hidup di wilayah yang sekarang disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengalami perjuangan yang berat. Artinya tidak dengan serta merta.
Kita harus mengamati sepak terjang, tegas Susanto.Yaitu sepak terjang para mahasiswa kita (Jawa, Sumatera, Minahasa dsb) sewaktu belajar di Negeri Belanda, khususnya di Leiden. Mereka membentuk perhimpunan mahasiswa, mula-mula namanya "Indische Vereniging" (dipimpin Gunawan Mangunkusumo, Suryomihardjo, Bagindo Dahlan Abdullah) tahun 1918, kemudian menjadi "Indonesische Vereeniging" atau Perhimpunan Indonesia (Mohammad Hatta 1922).
Juga Susanto menyinggu nilai-nilai kemajuan pada kaum perempuan.Ketika beasiswa Kartini tidak diberikan Abendanon untuk studi ke Negeri Belanda, ia memang menolak, tetapi dana beasiswa itu sesuai saran Kartini, hendaknya diberikan saja kepada Agus Salim. Seorang pemuda yang ketika dinilai sangat cerdas oleh Kartini. Susanto Zuhdi bertanya, bukankah sikap dan perilaku Kartini ini merupakan (salah satu) nilai Keindonesiaan?
Pembicara terakhir, yaitu M Subhan SD, wartawan harian "Kompas." Ia lebih banyak menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan kekinian.Sekarang, ujarnya, kita tengah berada di ujung dekade kedua pasca reformasi. Indonesia adalah "rumah besar bersama" di jantung khatulistiwa yang dibangun dari jalinan perbedaan etnis, ras, budaya, kedaerahan, agama, golongan, ideologi politik dan sebagainya.Indonesia adalah sebuah bangsa aneka warna, tetapi harmoni dan bersama-sama (Bhineka Tunggal Ika).
Ditegaskan oleh Subhan, dalam sejarah Indonesia, perbedaan dan konflik menjadi bagian dalam perjalanan bangsa. Perbedaan dan konflik sesungguhnya merupakan proses dialektis untuk menemukan atau menegaskan rumah besar Indonesia yang mencapai titik kulminasi pada tahun 1945.Sekarang rumah besar Indonesia ini sudah berusia 72 tahun.
[caption caption="Harry A Poeze (Foto Antara)"]
Dari diskusi ini juga muncul keheranan, mengapa ketika menulis sejarah Indonesia, yang meneliti atau menulis adalah bangsa asing dan bukan bangsa Indonesia.Saya setuju dengan pernyataan ini. Bagaimana mungkin menulis tentang Tan Malaka harus ditulis sejarawan Belanda, bukannya sejarawan Indonesia.