Ini adalah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang sekarang sedang memerintah negara Yahudi tersebut. Ia memang sangat populer di negaranya Israel, tetapi buat warga Palestina dan beberapa negara muslim di berbagai negara lainnya, Israel adalah sumber
Baru saja kita mendengar laporan tanggal 15 Februari 2019 lalu, bahwa Israel menolak mengizinkan Dewan Keamanan PBB (DK PBB) untuk mengunjungi wilayah Tepi Barat Palestina yang telah didudukinya.
Mengapa dipakai istilah "Israel menduduki"? Jika kita melihat peta Palestina tahun 1947, wilayah itu sepenuhnya milik Palestina. Penduduk Yahudi pun minoritas di wilayah Palestina tersebut, karena menjadi pengungsi di berbagai negara, persis nasibnya sama dengan penduduk Palestina sekarang. Ada di Irak, Lebanon, dan negara lainnya.
Tetapi, ketika negara pemenang Perang Dunia II mendukung kemerdekaan bangsa Yahudi dengan mendirikan negara Israel pada 14 Mei 1948, situasi berbalik. Negara Palestina yang utuh dipecah tiga. Israel memperoleh bagian lebih besar. Memang mengherankan. Kenapa penduduk Palestina memperoleh bagian lebih kecil, sementara itu semula wilayahnya?
Jawabannya cukup singkat, tidak adil. Negara-negara pemenang Perdang Dunia II memberlakukan warga Palestina secara tidak adil. Bahkan di Jalur Gaza, kita saksisakan setiap hari, pengungsi Palestika yang tinggal di tendan-tenda pengungsian selalu bentrok dengan tentara Israel di perbatasan kedua wilayah. Itu sekedar menuntut keadilan, tetapi belum tiba juga. Yang terjadi seperti sekarang ini. Anggota DK PBB ingin ke Tepi Barat, tetapi yang tidak mengizinkan bukan pemerintahan Palestina, tetapi Israel.
Di DK PBB baru-baru ini, Kuwait dan Indonesia, anggota tidak tetap DK PBB, adalah dua negara yang mengajukan proposal untuk kunjungan ke Tepi Barat. Rencana lawatan itu merupakan bagian untuk melihat dari dekat situasi di lapangan setelah Tel Aviv memutuskan pekan lalu untuk tak lagi mempertahankan misi pemantau sipil internasional di Hebron, Tepi Barat.
Langkah Israel kemudian didukung oleh Amerika Serikat, yang mem-veto draf pernyataan Dewan Keamanan PBB yang hendak menyatakan penyesalannya atas keputusan Israel untuk tak memperbarui mandat Temporary International Presence in Hebron (TIPH).
Dalam pertemuan tertutup pada Rabu, 13 Februari 2019, Presiden Dewan Keamanan, Anatolio Ndong MbaMba memberi pengarahan kepada anggota pada pembicaraan yang diadakan dengan Israel dan Palestina terkait perjalanan itu.
Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour segera menanggapi, dengan mengatakan kunjungan dewan akan dipandang "dengan cara yang paling positif."
Namun, Ndong MbaMba, Duta Besar Kuwait untuk PBB Mansour al-Otaibi mengatakan "Israel dengan tegas menolak kunjungan dewan."
Utusan Kuwait itu menyatakan penyesalannya atas oposisi Israel terhadap kunjungan yang "telah diajukan berkali-kali oleh dewan."