Salah satu pernyataan yang penulis usulkan menjelang peringatan Hari pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2013 sekitar 4 tahun lalu adalah “Kembalikan Sistem pendidikan Nasional sesuai semangat UUD 1945” Usulan ini dilandasi oleh keprihatiinan penulis sebagai guru yang melihat bahwa sistem pendidikan nasional cenderung bergeraka pesat ke arah liberalisasi pendidikan. Tyjuan pendididikan diarahkan bukan untuk membentuk manusia seutuhnya, namun lebih kearah lulusan yang mampu (kompeten) dan lebih mengerucut lagi adalah lulusan yang mampu bersaing sehingga laku di pasar kerja global. Pendidikan tidak ubahnya “bengkel” yang menghasilkan baud dan mur untuk dipasang pada mesin-mesin industri global.
Kondisi ini bagi penulis merupakan hal yang sangat memprihatinkan sebab hal ini semakin mendorong bangsa Indonesia untuk menjadi komoditas yang sesuai dengan “pesanan dunia”. Sistem pendidikan dirancang untuk mendisign lulusan yang sesuai keinginan pasar, yang, pada ahirnya lulusan pendidikan Indonesia kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang mandiri yang dikarunia berbagai potensi dan anugerah ilahi yang dapat dikelola dengan karateristik dirinya. Hal ini, menurut hemat penulis adalah sebuah kemunduran dari sistem pendidikkan Indonesia sejak awal yang “membangun manusia Indonesia seutuhnya” artinya selain membangun manusia yang mampu, juga manusia yang dilengkapi dengan jati diri bangsa Indonesia. Manusia Indonesia yang utuh, adalah manusia yang mampu mengelola Indonesa dengana kebinekaannya, mampu menghadapi tantangan-tantangannya, dengan tetap membumi sebagai bangsa yang berpanca sila. Inilah sesungguhnya pendidikan yang penulis sebutkan yang berspirit UUD 1945.
Terkait dengan spirit UUD 1945, sebagaimana kita pahami bersama, spirit yang has dibanding dengan UUD bangsa lain adalah spirit religiusnya. Hal ini tetntu sangat bisa dipahami, sebab penyusun UUD 1945, para founding father waktu itu adalah tokoh-tokoh yang sangat religius terutamanya adalah religiusitas Islam. Oleh karena itu jika kita sempat menanyakan apa yang dimaksud dengan “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang merupakan salah satu janji kemerdekaan, penulis sangat yakin bahwa yang dimaksud bangsa yang cerdas itu dipahami melalui spirit religius yakni “alkayisu man daana nafsahu wa’amila lima ba’da mautiih”, bangsa yang cerdas itu bangsa yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan bekerja untuk sesudah matinya. Inilah sesungguhnya pesan religius dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang diupayakana dengan penyelenggaraan pendidikan.
Bangsa yang cerdas, selanjutnya lebih deskripsikan dalam al Quran dengan term Ulul albab sebagaimana dinyatakan pada Q.S Ali Imron ayat 191 adalah “ (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”
Dengan demikian Sistem pendidikan Indonesia, sudah seharusnya memperhataikan berbagai aspeknya, sehingga ketika sistem pendidikan itu diselenggarakan pada ahirnya menghasilkan out come yang mampu mengelola Indonesia dengan tanggung jawab spiritualnya. Dengan demikian maka penyelenggaraan pemerintahan Indonesia bahkan semua aspek kehidupan bangsa tidak lepas dari sentuhan nilai-nilai spiritual yang tidak mengalalkan segala cara. Maraknya berbagai fenomena yang jauh dari ideal, seperti, korupsi, kolusi, nepotisme, dustaa, fitnah, hibah adu domba, yang dilakukan oleh mereka yang perpendidikan, yang pinter tapi keblinger, sebagaimana saat ini menjadi fenomena umum yang masif, meunjukan outcome pendidikan kita sudah melenceng dari spirit religius yang semestinya mewarnai sistem pendidikan kita.
Barangkali itulah sedikit tadzkiroh dari penulis menyambut Hari Pendidikan Nasional tahun 2017, terkait dengan sistem pendidikan nasional Indonesia, agar pendidikan Indonesia tidak menghasilkan out come dengan segala gelarnya, namun bergerak semakin jauh dari nilai-nilai ideal bangsa Indonesia. Mudah-mudahan ada manfaatnya.