Mohon tunggu...
Darwono Guru Kita
Darwono Guru Kita Mohon Tunggu... profesional -

**************************************** \r\n DARWONO, ALUMNI PONDOK PESANTREN BUDI MULIA , FKH UGM, MANTAN AKTIVIS HMI, LEMBAGA DAKWAH KAMPUS JAMA'AH SHALAHUDDIN UGM, KPMDB, KAPPEMAJA dll *****************************************\r\n\r\n\r\n\r\n\r\nPemikiran di www.theholisticleadership.blogspot.com\r\n\r\nJejak aktivitas di youtube.com/doitsoteam. \r\n\r\n\r\n*****************************************\r\n\r\nSaat ini bekerja sebagai Pendidik, Penulis, Motivator/Trainer Nasional dan relawan Pengembangan Masyarakat serta Penggerak Penyembuhan Terpadu dan Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik\r\n*****************************************

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pendidikan Politik yang Destruktif dalam Pilkada DKI 2017

15 April 2017   22:54 Diperbarui: 16 April 2017   08:00 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Catatan Pilkada DKI 2017 dari Seorang Guru

Hajat pesta demokrasi dalam bentuk pilkada maupun pemilu adalah hajat umum, dalam makna tidak hanya melibatkan komunitas tertentu saja. Meskipun yang memiliki hak memilih dan dipilih hanya mereka yang sudah memenuhi syarat saja, namun penyelenggaraannya, gema dan dinamikanya juga mengimbas pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk anak anak usia sekolah yang sedang belajar apa saja dari keluarga, sekolah dan lingkungannya.

Fakta bahwa lingkungan sangat berpengaruh dalam pertumhuhan dan perkembangan anak anak bangsa, menuntut tersedianya lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak. Konsekuensinya, jika anak anak bangsa diharapkan di masa depan memiliki kemampuan, perilaku dan komitmrn politik yang bak, maka lingkungan politiknya harus menyediajan meliu bagi tumbuhnya pendidikan politik bagi anak anak bangsa, dan bagaimanapun juga, masa masa pilkada atau pemilu adalah masa nyata dimana pendudikan politik itu digelar selebar lebarnya.

Sayangnya, apa yang terjadi di sekitar gegap gempita pilkada maupun pemilu selama dan juga saat ini, justru terjadi praktek politik yang sangat kurang mendidik, bahkan mengarah pada destruksi nilai-nilai, praktek, paradigma politik yang sesungguhnya yang sangat diperlukan oleh generasi penerus. Dan destruksi pendidikan politik ideal yang dibutuhkan sesuai kredo Cerdas Politik Untuk Indonesia lebih baik justru berlangsung secara masif, dan apa yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta terasi benar benar mencai puncak destruksi pendidikan politik.

Melalui berbagai media massa baik media massa cetak maupun elektronik, juga media sosial (medsos), stigma bahwa politik itu kotor, jahat, menipu, menghalalkan segala cara mendapat peneguhannya di pesta pilkada DKI 2017 ini. Berbagai fitnah, ketidak jujuran, pemutarbalikan fakta, menjungkirbalikkan kebenaran, adu domba, penistaan bersifat SARA, secara mudah dapat kita jumpai. Bahkan anak-anak bangsa yang sedang tumbuh dan berkembang dengan mata kepala sendiri melihat pelanggaran-pelangaran yang melawan hukum terjadi di lingkungannya. Berbagai pelanggaran yang sangat demonstratif itu sebagai misal adalah terjadinya money politic dengan pembagian uang oleh oknum tertentu, pembagian binkisan sembko bertruk-truk, pengerahan pemilih siluman yang diwarnai arogansi pembawanya, benar-benar menjadi pendidikan politik yang destruktif bagi generasi penerus bangsa. 

Apa jadinya generasipenerus yang dididik hipokrit, ketika para pelajar dikumpulkan diberi kampanye tentang anti korupsi namun pada saat yang sama pelajar tahu bahwa sang oknum justru terlibat dalam tindakan yang dianggapnya terlarang itu. Tidak hanya berhenti disitu, ketika sang oknum ingin menyanggahnya, bukan dengan cara bagaimana dibuktikan di pengadilan sehingga terjadi proses supremasi hukum sebagai ciri negara hukum yang pelajar mengetahuinya melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah, tetaai justru membantahnya dengan menjelekkan lembaga negara, yang pada saat yang sama berarti mendidik anak-anak bangsa untuk menginjak-injak lembaga lembaga tinggi negara, yang pada ahirnya juga tidak menghargai lembaga kepresidanan temasuk presidennya itu sendiri. 

Sebagai pendidik yang aktif berpolitik karena menganggap politik itu penting, bahkan dari sejarah penulis dapaat belajar, bahwa jika para pendidik (guru, ustadz, kyai) tidak berpolitik maka tidak pernah gerakan kebangsaan yang pada ahirnya menghasilkan kemerdekaan Indonesia, mengikuti perkemangan politik Indonesia, dari waktu ke waktu sungguh sangat memprihatinkan. Penulis sadar, bahwa para politisi yang ada sesungguhnya bukanlah politisi sejati yang memahami politik melalui pendidikan politik, kaderisasi politik sejak pertumbuhannya ahibat depolitisasi Orde Baru, namun seharusnya, jika berbicara profesionalisme, maka ketika mereka memanfaatkan peluang politik sudah seharusnya harus melengkapi dirinya dengan kapabilitas dan integritas politik yang harus dilakukannya. Profesionalisme sebagai politisi yang sangat rendah dalam frame Indonesia sebagai negara yang berpanca sila  itulah yang mengakibatkan apa yang dilakukannya dalam berpolitik justru terjebak memberikan pendidikan politik bagi generasi penerus bangsa. 

Apa adinya Indonesia di masa yang datang jika para politisi Indonesia nantinya adalah para politisi yang mendapatkan pendidikan politik yang destruktif, dan bagaimana grnerasi berikut, kita barang kali bisa membayangkan bersama bahwa Indonesia akan semakin hyancur. Nilai-nilai ketuhanan yang harusnya melandasi, mewarnai setiap gerak dan aktivitas berbagsa dan bernegara dikangkangi bengitu saja, bahkan Panca Sila sangat mungkin hanyalah tinggal nama. Penulis sangat yakin, kita yang mencintai NKRI, Indonesia yang berpanca sila tidak akan pernah rela jika Indonesia mengalami haal demikian. Oleh karea itu, tidak ada jalan lain kecuali kita harus segera memperbaiki kehdupna politik kita. 

Tekait dengan hal itu, mari mulailah di hari enang ini kita betul-betul mematuhi segala hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di hari tenang. Kita semua memiliki kewajiban menjaga dan mengamankan hari tenang hingga hari pencoblosan dalam artian jika benar ada yang melakukan pelanggaran, kita harus menindaknya dengan tepat. Bawaslu yang merasa terancam karena diteror oleh para preman, harus kita support dengan menghadapi preman-preman itu dengan cara yang tepat sesuai dengan hukum yang berlaku di NKRI. Selamat melakukan pendidikan politi melalui praktek politik di masa hari tenang ini. Semoga generasi penerus bangsa menjadi "Cerdas Politik Untuk Indonesia Lebih baik". Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun