Era digital telah menghadirkan kemudahan luar biasa dalam hal konsumsi. Berbagai platform e-commerce, dompet digital, layanan paylater, dan pinjaman online membuat masyarakat dengan mudah mengakses barang dan jasa hanya dengan sentuhan jari. Namun, di balik kenyamanan itu, muncul fenomena yang mengkhawatirkan: meningkatnya praktik utang konsumtif. Banyak orang berutang bukan untuk kebutuhan mendesak, tetapi demi gaya hidup, tren, atau dorongan sesaat. maka timbul pertanyaan: Bagaimana Islam memandang praktik utang konsumtif, dibolehkan atau justru dilarang?
Secara umum, utang konsumtif adalah utang yang digunakan untuk membeli barang atau jasa yang habis dalam waktu singkat dan tidak menambah nilai aset. Contoh: membeli gadget terbaru, pakaian bermerek, liburan, atau makanan mahal dengan pinjaman online atau paylater. Ciri-ciri utang konsumtif :
1. Tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi
2. Lebih bersifat emosional daripada rasional
3. Seringkali untuk mengikuti gaya hidup
4. Dibayar dengan pendapatan masa depan yang belum pasti
FENOMENA UTANG KONSUMTIF DI ERA DIGITAL
Fenomena utang konsumtif di era digital menunjukkan adanya sisi lain dari kemajuan teknologi. Meskipun digitalisasi menawarkan kenyamanan dan inklusi finansial yang belum pernah ada sebelumnya, pada saat yang sama, ia menciptakan jalur-jalur baru menuju perangkap keuangan, khususnya dalam utang konsumtif. Sifat ganda ini menuntut kerangka kerja etis dan regulasi yang cermat, terutama dari perspektif Islam yang memprioritaskan kesejahteraan dan keadilan. Sebagai contoh, pinjaman online memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup konsumtif.
Berdasarkan hasil penelitian (Roland, 2022) pada gambar diatas menunjukan bahwa pengguna e-wallet paling banyak ada pada kalangan Generasi Z dengan umur 19-22 tahun, dan data itu juga di dukung oleh riset yang dilakukan oleh Jakpat dan Daily Social yang menunjukan bahwa pengguna e-wallet paling banyak adalah usia produktif yaitu 20-35 tahun. Banyak di antaranya terjebak dalam lingkaran utang tanpa aset yang pada akhirnya menimbulkan stres finansial dan gangguan psikologis.
FAKTOR YANG MENDORONG UTANG KONSUMTIF
1. Pinjaman Online (Pinjol) dan Paylater: Mekanisme dan Dampak
Dua produk keuangan digital utama yang berperan dalam mendorong utang konsumtif adalah Pinjaman Online (Pinjol) dan Paylater. Pinjaman online adalah fasilitas pinjaman tunai yang disediakan oleh perusahaan perbankan atau lembaga jasa keuangan, yang dapat digunakan untuk kebutuhan konsumtif maupun produktif. Pencairan dananya langsung masuk ke rekening debitur atau melalui platform e-wallet. Sementara itu, Paylater adalah fasilitas pembiayaan "bayar nanti" yang memungkinkan konsumen membeli produk atau jasa sekarang dan membayarnya kemudian secara angsuran. Proses pengajuannya umumnya lebih mudah dan cepat, seringkali terintegrasi langsung dalam aplikasi belanja atau perjalanan, dan dana hanya dapat digunakan di platform yang sama.
Mekanisme utama di mana platform digital ini mendorong utang konsumtif adalah dengan secara drastis mengurangi "gesekan" (friction) dalam proses mendapatkan dan menggunakan kredit. Pergeseran dari proses manual yang memakan waktu ke persetujuan instan berbasis aplikasi menghilangkan hambatan psikologis dan waktu untuk refleksi, membuat peminjaman impulsif menjadi jauh lebih mudah dan cepat. Layanan ini juga sering dikombinasikan dengan diskon atau promosi, yang menggoda konsumen untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Tanpa perencanaan keuangan yang matang, penggunaan Paylater dapat menyebabkan konsumen kehilangan kendali atas pengeluaran, berujung pada utang yang tidak terkelola dengan baik. Selain itu, keterlambatan pembayaran dapat memicu bunga dan biaya tambahan yang menumpuk, serta berdampak negatif pada skor kredit jangka panjang. Risiko pinjol ilegal juga mencakup penyebaran data pribadi tanpa izin, bunga yang sangat tinggi, dan ketidakjelasan identitas perusahaan.
2. Pengaruh Media Sosial dan Budaya FOMO (Fear of Missing Out)
Budaya FOMO (Fear of Missing Out) menjadi faktor psikologis yang sangat berpengaruh. Individu cenderung membeli barang yang sedang viral atau dibeli oleh teman-temannya untuk mengikuti trend atau sekadar agar terlihat sejalan dengan kelompok sosial mereka, karena takut tertinggal. Pengaruh selebriti atau influencer juga sangat signifikan, di mana barang yang mereka promosikan sering dianggap sebagai simbol status dan kualitas, memicu keinginan untuk memilikinya. Remaja, yang umumnya belum memiliki kemampuan penuh dalam mengelola keuangan, sangat rentan terhadap pengaruh media sosial ini, yang dapat memicu mereka menghabiskan uang secara tidak bijaksana.
Secara keseluruhan, elemen-elemen ini membentuk sebuah ekosistem digital yang secara aktif mempercepat akumulasi utang konsumtif. Media sosial menciptakan keinginan melalui FOMO dan gaya hidup aspiratif, sementara platform Pinjol dan Paylater menyediakan sarana instan untuk memenuhi keinginan tersebut, seringkali tanpa pertimbangan matang.
PRIBSIP DASAR UTANG DAN KONSUMSI DALAM ISLAM
1. Etika Konsumsi dalam Islam
Islam memiliki etika konsumsi yang komprehensif, menekankan keseimbangan dan tanggung jawab. Imam Al-Ghazali secara fundamental membedakan antara konsep keinginan (wants) dan kebutuhan (hajah), menjadikan pemenuhan kebutuhan sebagai acuan utama dalam teori konsumsi Islam. Hal ini sejalan dengan prinsip halalan thayyiban, yang menekankan konsumsi yang halal dan baik, serta memperhatikan tanggung jawab dan pelestarian lingkungan. Islam melarang keras dua perilaku ekstrem dalam konsumsi:
- Israf (Berlebihan/Pemborosan) : Sikap berlebihan dalam membelanjakan harta, yang tergolong tindakan menghambur-hamburkan harta menjadi hal yang tidak bermanfaat. Al-Qur'an secara tegas melarang israf, dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra: 26-27 yang menyatakan, "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya".
- Tabdzir (Menghambur-hamburkan) : Tindakan memboroskan sumber daya atau harta tanpa tujuan yang jelas atau bermanfaat.
Prinsip-prinsip etika konsumsi Islam, seperti moderasi (wasatiyyah), pembedaan antara kebutuhan dan keinginan, serta larangan israf dan tabdzir, secara fundamental bertentangan dengan pendorong utama perilaku konsumtif di era digital, seperti FOMO, gengsi, dan belanja impulsif. Ini menciptakan ketegangan etis yang signifikan bagi umat Muslim dalam menghadapi godaan konsumsi digital. Harta dalam Islam dipandang sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT, yang wajib diperoleh dan digunakan secara halal, serta disucikan melalui zakat, infaq, dan sedekah untuk kemaslahatan bersama.
2. Prinsip-Prinsip utang dalam Syariah
Dalam Islam, utang diperbolehkan, namun harus dikelola dengan prinsip yang adil dan tidak memberatkan. utang pada dasarnya merupakan bentuk akad tabarru' (kebajikan) atas dasar saling tolong-menolong yang dianjurkan, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Prinsip-prinsip utama manajemen utang dalam Islam adalah sebagai berikut:
- Niat yang Benar: Seseorang yang berutang harus memiliki niat yang tulus untuk melunasinya. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa mengambil harta manusia (utang) dengan niat ingin melunasinya, maka Allah akan membantunya melunasi. Dan barang siapa mengambilnya dengan niat ingin menghambur-hamburkannya, maka Allah akan membinasakannya" (HR. Bukhari).
- Berutang Hanya Jika Benar-Benar Diperlukan dan Sesuai Kemampuan: utang harus menjadi pilihan terakhir setelah semua opsi lain dipertimbangkan. Islam mengajarkan keseimbangan dalam keuangan, sehingga berutang harus sesuai dengan kapasitas pembayaran agar tidak menimbulkan kesulitan di masa depan. Mengambil utang yang melebihi kemampuan hanya akan membawa kesulitan dan konsekuensi negatif.
- Harus Dicatat dan Disaksikan: Semua transaksi utang dalam Islam harus didokumentasikan dengan jelas untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Prinsip ini ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 282, yang menganjurkan pencatatan utang dan melibatkan saksi dalam transaksi. Dokumen perjanjian harus mencakup jumlah utang, tenggat waktu pembayaran, serta kesepakatan lainnya.
- Membayar Utang Tepat Waktu dan Memprioritaskan Pelunasan: Ini adalah salah satu kewajiban utama dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, "Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah kedzaliman" (HR. Bukhari dan Muslim). Menunda pembayaran utang tanpa alasan yang jelas dapat merugikan pihak pemberi pinjaman dan berpotensi menjadi dosa. Jiwa seorang Muslim masih tergantung pada utangnya sampai dilunasi (HR. Tirmidzi). Pelunasan utang bahkan diprioritaskan di atas pembayaran zakat jika harta terbatas, karena utang merupakan hak individu yang harus dipenuhi.
- Memberikan Kelonggaran bagi yang Kesulitan: Islam mengajarkan empati. Bagi pemberi utang, memberikan keringanan atau bahkan membebaskan utang bagi yang benar-benar kesulitan merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dan mendapatkan pahala besar, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 280.
3. Dampak Utang Konsumtif
Prinsip-prinsip utang dalam Islam yang mengedepankan niat yang benar, amanah (kepercayaan), dan konsekuensi spiritual utang yang belum terbayar, mengangkat manajemen utang menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan ibadah seorang Muslim. Kemudahan dan anonimitas utang digital dapat mengikis rasa amanah ini, dimana peminjam mungkin mengambil utang tanpa niat serius untuk melunasi atau melebihi kemampuan mereka. ada 2 dampak Utang Konsumtif yaitu;
a. Dampak Individu
- Terjerat riba (jika melalui lembaga tidak syariah)
- Gangguan psikologis (stress, gelisah, malu)
- Ibadah terganggu karena dikejar utang
- Mengurangi keberkahan rezeki
- Potensi dosa jika tidak mampu melunasi
b. Dampak Sosial
- Masyarakat hidup dalam ilusi kemakmuran (konsumsi diluar batas)
- Kesenjangan sosial meningkat
- Ketimpangan ekonomi (utang menyatu dalam gaya hidup)
SOLUSI ISLAM DALAM MENGHADAPI UTANG KONSUMTIF