Mohon tunggu...
Darwin Malakuin
Darwin Malakuin Mohon Tunggu... Desainer - Pencari Makna

Aku sudah lama mengatakan, aku akan menjadi idealis sampai batas-batas sejauh-jauhnya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aroma "ABS" dalam Tulisan Alfred Tuname

17 Juni 2020   12:02 Diperbarui: 17 Juni 2020   11:54 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Darwin Malakuin, warga Manggarai Timur

Beberapa hari belakangan, jagat media sosial publik Manggarai (Timur) diramaikan dengan perbincangan mengenai tulisan di sebuah media online atas nama Alfred Tuname (AT). Betapa tidak, tulisan tersebut cukup menarik dan memantik emosional kaum “intelektual muda” Manggarai, yang sedang berjuang menolak kehadiran tambang di Manggarai Timur. Secara umum, inti dari tulisan tersebut adalah “tuduhan” sang penulis terhadap pihak-pihak yang kontra terhadap rencana pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda, yang cukup kontroversial.

Di beberapa WhatsApp Grup (WAG) yang saya ikuti, perbincangan tersebut sangat ramai. Berbagai kritik (persisnya hujatan dan cacian!) yang ditujukan terhadap sang penulis kian ramai. Begitu juga grup-grup Facebook (FB) maupun postingan personal yang muncul di timeline marak ditemui pembahasan serupa, kritik keras terhadap AT, sang penulis. Selain kritikan yang diberikan, tak sedikit juga pujian yang dilontarkan kepada sang penulis atas karya intelektualnya.

Sebenarnya, sejauh pengamatan penulis, tulisan Alfred Tuname (AT) tersebut tidak terlalu ramai diperbincangkan, jika hanya pada konteks “pro dan kontra” pabrik semen di Desa Satar Punda. Karena yang namanya sebuah kebijakan pemerintah, “pro dan kontra” itu selalu ada. Yang menjadikannya ramai adalah latar belakang dan rekam jejak digital penulis pada kasus yang sama.

Tahun 2015, AT menuliskan sebuah ulasan di media online floresa.co soal keprihatinannya dengan maraknya pertambangan di Manggarai, dengan mengambil judul “Melawan Tambang, Tugas Siapa?” (Gagasan/Floresa.co, 4 Agustus 2015). Tulisan itu, jelas AT, diolah dari materi yang dipresentasikan dalam launching buku “Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang”, Karya Benny Denar.

Singkatnya, dalam tulisan tersebut AT menelanjangi pihak-pihak dibalik tambang di Manggarai. Tidak sungkan, Alfred Tuname menyebut: “para pejabat sebagai kapitalis birokrat, yang menjual tanah air dan bangsa dengan memanfaatkan jabatan demi keuntungan pribadi dan investor tambang”. Disebutnya juga, “lembaga peradilan, TNI/Polri bahkan preman berwajah sipil pun dimanfaatkan sebagai algojo demi kepentingan investor sebagai raja fulus”.

Di akhir tulisannya, AT menulis: “akhirnya manakala kebijakan negara (pemerintah daerah) tanpa ideologi untuk rakyat, secara tidak sadar nasib rakyat sedang digadaikan kepada kaum kapitalis demi kepentingan dan keuntungan mereka. Kita sedang melawan mereka”.

Tulisan AT tersebut menunjukkan “betapa besar kepedulian dan keprihatinannya akan nasib rakyat”. Bahkan, dapat diakui narasi yang dibangun dalam tulisannya bukan saja terbatas pada karya intelektual semata, tapi lebih dari itu menyimpan kegelisahannya akan wajah muram pembangunan di daerah ini yang dikuasai kaum elit dan investor. Angkat topi penulis, untuk karya besarnya.

Berseberangan dengan tulisannya pada tahun 2015 tersebut, kini AT berbalik arah. Dia hadir dengan wajah lain. AT “menghujat da mencaci maki” pihak-pihak yang kontra terhadap produk kebijakan Bupati Manggarai Timur yang sangat kontroversial, rencana pembukaan tambang dan pendirian pabrik semen di Desa Satar Punda. Dalam tulisannya pada 13 Juni 2020, AT menuliskan sebuah opini di media online sorotntt.com, berjudul “Korelasionisme Politik Diaspora dan Pabrik Semen di Matim” (SorotNTT.com, 13 Juni 2020).

AT memulai tulisannya kali ini dengan ‘sudut pandangnya terhadap politik, di Manggarai Timur’. Bagi AT, segala hal pasti bersinggungan dengan politik dan politik selalu berhubungan dengan ‘uang’. Begitupun, orang-orang yang tergabung dalam diaspora yang mengkritisi kebijakan Bupati Manggarai Timur dengan menolak kehadiran tambang di Luwuk - Lengko Lolok. Dalam AT versi kedua ini, penolakan tambang tidak lebih dari pada upaya “mencari makan siang”. AT mengutip, “tidak ada makan siang yang gratis”.

“Jika ada petisi tolak ini-itu, maka catatan kakinya adalah nomor rekening. Petisi pun ditandatangani oleh diaspora dan kroninya sendiri. Harapannya, siapapun boleh isi di rekening itu”. Begitulah AT “menghina” pihak-pihak yang menamakan dirinya diaspora. Kerangka pijaknya, ketika pemerintah berusaha membangun daerah untuk kepentingan rakyatnya, selalu salah dimata diaspora. Padahal, konsepsi  diaspora semestinya mendukung pembangunan daerah, begitulah narasi sesat Alfred Tuname.

Tulisan AT mengingatkan saya pada tokoh dalam cerita rakyat Manggarai, “Pondik”. Tokoh “Pondik” adalah simbol kelicikan dan kepiawaian dalam memperdayai lawan. Ia adalah gambaran tentang karakter yang egois, tamak dan berwatak maling. Tetapi, dibalik keegoisan, kelicikan dan ketamakannya tersebut, Pondik sangatlah cerdas. Ia begitu lihai dalam memainkan peran, untuk mencapai apa yang diinginkannya.

Gambaran tokoh “Pondik tersebut, persis seperti yang dilakukan oleh para tokoh-tokoh politik dan orang-orang di era Soeharto. Apapun dilakukan demi mendapatkan promosi jabatan dan uang. Tak peduli dengan apakah itu cara-cara kotor dan busuk, yang paling penting adalah menyenangkan “sang bos”. Istilahnya ABS, “Asal Bapak Senang”.

Tulisan-tulisan berbau intelektual tetapi penuh kebohongan pun memenuhi kolom media massa bayaran pemerintah. Taktik licik itu dipermainkan, tak peduli dengan nasib dan masa depan rakyat dan kepentingan bangsa. Yang pasti tujuan utamanya adalah kepentingan pribadi, uang dan promosi jabatan. Moral dan idealisme personal diperbudak dan diperjualbelikan.

Fenomena menjilat penguasa adalah hal yang biasa dan umum dilakukan oleh cukong-cukong politik pada era Orde Baru. Sebagai catatan kaki, elit-elit era Orba tersebut adalah tokoh-tokoh idealisme di era Soekarno. Mereka adalah tokoh-tokoh intelektual dan cerdas yang kerap mengkritisi kebijakan Soekarno yang kerap kali menyalahgunakan wewenangnya untuk mempertahankan posisinya yang kian goyah. Alhasil, demo besar-besaran pun tak terhindarkan.

Hal yang mirip (atau sama persis?) ditemukan dalam karya AT. Ia menjilat ludahnya sendiri dengan memuja sang penguasa. Rekam jejak digitalnya adalah bukti tak terbantahkan. Memang benar bahwa cara berpikir itu harus adaptatif untuk dapat menyesuaikan diri dan dapat bertahan. Tapi konsep itu tidak berlaku pada narasi intelektual. Memang benar pula bahwa dalam negara demokrasi kebebasan berpendapat adalah “tuhan”nya, dan dengan sendirinya kita berhak mendukung suatu kebijakan, memuji atau bahkan menjilat pada pemerintah. Tapi sekali lagi, tidak pada konteks seperti karya AT. Itu adalah penghinaan yang besar pada intelektual-intelektual muda. Itulah poin penting pada gaungnya narasi “pendidikan karakter”.

Selain itu, dalam narasi “yang dituduhkan” dalam tulisan AT, hanya sebatas pada opini belaka. Walaupun kerap kali meminjam istilah para ahli dalam tulisannya, tetapi tuduhan tersebut tidak lebih dari racun intelektual tanpa data yang konkrit.

Seharusnya, jika memang AT tidak sedang “menjilat” melalui tulisannya, maka data adalah hal mutlak yang harus diberikan. Karena ia sedang bertindak dan berbicara “atas nama pemerintah”. Tunjukkan mana pihak-pihak yang sedang “mencari makan siang”, seperti tuduhan AT. Ataukah yang bersangkutan juga sedang mencari makan siang? Kembali ke mental “ABS”, apakah sang penulis juga sedang menyenangkan “sang bapak” dan mencari privilese?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun