Siapa yang masih rutin membaca koran pagi hari? Atau membuka situs web pemerintah untuk mencari informasi terpercaya sebelum membuat keputusan? Di tengah derasnya arus digital dan maraknya konten viral, banyak dari kita justru lebih percaya pada unggahan singkat di Facebook, Instagram, TikTok, dan X. Seakan satu video dengan backsound emosional lebih meyakinkan dibanding laporan jurnalistik yang ditulis dengan cermat dan diverifikasi.
Kepercayaan publik hari ini tidak lagi dibangun lewat kredensial atau jejak panjang institusi. Melainkan oleh algoritma dan narasi yang terasa "dekat." Kita cenderung mempercayai video yang muncul di beranda karena disajikan oleh akun yang kita ikuti. Kita menganggap informasi dari selebgram atau akun meme sebagai fakta, hanya karena itu muncul berulang dan mendapat ratusan komentar yang setuju.
Padahal, secara data, media sosial merupakan sumber informasi paling tidak dipercaya secara global. Studi dari Edelman Trust Barometer mengungkap bahwa hanya sekitar sepertiga masyarakat yang benar-benar percaya pada konten berita di media sosial. Di sisi lain, media massa konvensional, meski dianggap ketinggalan zaman oleh sebagian orang, menyediakan transparansi: ada nama penulis, ada editor, ada mekanisme koreksi, dan ada tanggung jawab hukum. Bukan sekadar unggahan anonim yang bisa hilang kapan saja (Digital News Report 2024, Reuters Institute).
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan reflektif. Mengapa kita justru meragukan media yang jelas identitas dan niat editorialnya, tapi menerima begitu saja informasi dari akun tak dikenal yang bahkan bisa dibuat dalam lima menit? Apakah kredibilitas telah digantikan oleh kecepatan? Ataukah kita lebih menyukai konten yang terasa "personal," meski belum tentu akurat?
Kita hidup di zaman ketika seorang vlogger dengan kamera ponsel dapat lebih dipercaya daripada reporter berpengalaman dengan lisensi jurnalistik. Narasi "dari rakyat biasa" dianggap lebih jujur, meski tak jarang penuh misinformasi. Dan sementara koran harus melewati serangkaian pengecekan sebelum terbit, sebuah video TikTok bisa langsung viral dalam satu jam, dan menjadi rujukan opini publik keesokan harinya.
Tentu, tidak semua konten media sosial itu berbahaya. Banyak juga yang edukatif, inspiratif, bahkan membuka ruang baru bagi suara-suara marginal. Tapi tantangannya terletak pada literasi digital. Ketika kita terbiasa mempercayai yang dekat dan cepat, kita rentan mengabaikan yang akurat dan bertanggung jawab.
Beberapa kasus belakangan ini memperlihatkan betapa besar dampak informasi yang keliru. Mulai dari prank yang berujung pada tekanan psikologis, hingga video deepfake yang memicu ketegangan sosial. Di satu sisi, kita dikejutkan oleh viralitas yang tak terduga. Di sisi lain, kita lupa bertanya: siapa yang membuat konten ini? Apa niatnya? Benarkah datanya?
Media massa konvensional, dengan segala kekurangannya, memiliki standar yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketika sebuah koran nasional memuat berita, kita bisa mencari siapa penulisnya, melihat sumbernya, bahkan mengirim tanggapan jika ada kekeliruan. Tapi di media sosial, siapa yang akan menjawab jika ternyata berita itu hoaks? Siapa yang bertanggung jawab atas kesimpangsiuran yang merusak reputasi atau bahkan memicu konflik?
Dan jika kita bicara tentang Indonesia hari ini, data menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital masyarakat. Per Januari 2025, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 191,4 juta orang, setara dengan 68,9% dari total populasi nasional. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk berselancar di media sosial adalah 3 jam 17 menit per hari. Platform yang paling banyak digunakan adalah Instagram (173,59 juta pengguna), Facebook (166,42 juta), TikTok (129,17 juta), dan X/Twitter (119,34 juta).
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka mencerminkan pola konsumsi informasi yang berubah drastis. Ketika mayoritas penduduk Indonesia mengakses berita melalui media sosial, maka tanggung jawab untuk memilah dan memahami informasi menjadi semakin penting. Apalagi, menurut laporan GoodStats, 60% masyarakat Indonesia mengaku mendapatkan berita dari media sosial, sementara hanya 43% yang masih mengakses berita dari media televisi seperti TVOne, dan 50% dari media online seperti Detik.com.
Menariknya, media sosial juga telah menjadi panggung utama bagi kampanye politik, promosi produk, bahkan pembentukan citra diri. Fenomena "gemoy" dalam kampanye Prabowo Subianto, misalnya, menunjukkan bagaimana citra politik bisa dibentuk ulang melalui konten ringan dan menghibur. Di sisi lain, munculnya influencer yang memonetisasi konten sensual atau kontroversial juga memicu perdebatan etika yang belum selesai.
Kita juga menyaksikan bagaimana TikTok menjadi ruang baru bagi edukasi, advokasi, bahkan terapi emosional. Banyak konten yang membahas kesehatan mental, spiritualitas, dan motivasi hidup, disajikan dalam format video pendek yang mudah dicerna. Tapi di balik itu, algoritma juga bisa membawa kita ke dalam gelembung informasi yang sempit, memperkuat bias dan mengurangi keberagaman perspektif.
Mungkin ini saatnya kita tidak lagi menempatkan media sosial sebagai satu-satunya jendela dunia. Kita bisa tetap menikmati TikTok dengan tarian dan opini jenaka, tapi dengan kesadaran bahwa tidak semua konten layak dipercaya begitu saja. Kita bisa tetap aktif di IG dan X, tapi tak lantas menolak informasi yang datang dari koran atau website resmi. Karena menjadi netizen cerdas bukan berarti memusuhi viralitas, melainkan memahami kapan harus percaya, dan kapan sebaiknya bertanya lebih dulu.
Dan, jika algoritma hari ini menyajikan dunia seperti yang ingin kita lihat, maka tugas kita adalah belajar melihat dunia seperti apa adanya. Termasuk lewat sumber informasi yang kadang dianggap membosankan, tapi justru menyimpan kedalaman dan tanggung jawab yang kita butuhkan.
Kita tidak harus kembali ke masa lalu. Tapi kita bisa menyatukan kecepatan digital dengan kedalaman jurnalistik, agar opini kita tidak hanya terbentuk oleh likes dan views, tapi juga oleh pemahaman dan empati. Sebab, di era digital yang riuh, memilih siapa yang kita percaya adalah bentuk paling sederhana dari kebijaksanaan.
Kita tidak harus kembali ke masa lalu. Tapi kita bisa menyatukan kecepatan digital dengan kedalaman jurnalistik, agar opini kita tidak hanya terbentuk oleh likes dan views, tapi juga oleh pemahaman dan empati. Sebab, di era digital yang riuh, memilih siapa yang kita percaya adalah bentuk paling sederhana dari kebijaksanaan.
Mungkin inilah saat yang tepat untuk mengasah kembali cara kita menyaring kabar. Bukan dengan sikap curiga berlebihan, tapi dengan jeda kecil sebelum percaya sepenuhnya. Coba tanyakan: siapa yang menyampaikan informasi ini? Apakah ada sumber atau bukti yang mendukung? Apakah ada kemungkinan ini sekadar konten viral yang dibuat untuk keuntungan, bukan kebenaran?
Menjadi pengguna media sosial hari ini adalah menjadi penjaga gerbang informasi. Kita memang tak bisa menahan laju algoritma, tapi kita bisa memutuskan mana yang layak kita beri tempat dalam pikiran dan hati. Tak perlu selalu serius, cukup lebih sadar. Sebab, di balik setiap konten yang kita bagikan, ada jejak yang membentuk dunia digital yang kita warisi bersama.
Dan barangkali, kebaikan kecil dimulai dari keputusan sederhana: untuk tidak langsung percaya, tapi mau mencari tahu lebih dulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI