Bagi yang berkutat seputaran Monas dan baperan, bisa jadi awkward saat bertemu dengan orang yang sudah bangga tadi. Lain halnya yang bersangkutan jauh dari kriteria baperan, tentunya posisinya sangat dia nikmati tanpa perlu empati kepada yang sudah bangga.
Kondisi serupa terjadi saat Satuan Tugas Penanganan COVID-19 pada tanggal 7 April 2021 menetapkan SE Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.
Bagi pegawai instansi pemerintahan/ASN, pegawai BUMN/BUMD, prajurit TNI, dan anggota Polri sebagai pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik, yaitu (1) bekerja/perjalanan dinas, (2) kunjungan keluarga sakit, (3) kunjungan duka anggota keluarga meninggal, (4) ibu hamil yang didampingi oleh 1 orang anggota keluarga, dan (5) kepentingan persalinan yang didampingi maksimal 2 orang wajib melampirkan print out surat izin tertulis dari pejabat setingkat Eselon II yang dilengkapi tanda tangan basah/tanda tangan elektronik pejabat serta identitas diri calon pelaku perjalanan.
“Gak terlalu ngaruh banyak buat saya, cuma gak bisa mudik bertemu orang tua di kampung aja,” celetuk seorang kuli pemerintah yang bertugas dekat homebase menanggapi SE pelarangan mudik.
Pengaruh besarnya dirasakan kuli pemerintah yang bertugas jauh dari homebase. Hasrat menemui istri dan anak yang rutin paling cepat 1 bukan sekali harus dipaksa tunda. Secuil fantasy merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama istri dan anak pun gagal terwujud.
Dari 5 kriteria keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik tadi, tidak ada kriteria kunjungan ke keluarga utama bagi kuli pemerintah yang bertugas jauh dari homebase.
Memang luar biasa, tanpa pandang mana yang dekat homebase, mana yang jauh homebase.
Teringat penggalan lirik lagu Oh Ya dari album SWAMI I Tahun 1989,
“Oh ya, ya nasib. Nasibmu jelas bukan nasibku. Oh ya, ya takdir, takdirmu jelas bukan takdirku.”
Derita tak dapat bersua istri dan anak di saat Lebaran membuka peluang untuk berbangga demi empati layaknya bangga di awal tulisan ini.
Koq bangga dengan derita sih? Sungguh naif kenakalanmu, Kawan.